bp4-JAKARTA. Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang diinisiasi pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi terus dicermati dan dikaji publik secara mandiri. Kekecewaan publik bukan hanya soal prosedur RUU yang tidak transparan, materi yang dimuat dalam RUU Sisdiknas juga dinilai gagal paham terhadap peran strategis pendidikan dalam membangun kebangsaan dan keindonesiaan.
Dalam diskusi publik bertajuk ”Rapor Merah Kinerja Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim” yang digelar Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transformasi Pendidikan, Kamis (17/3/2022), Ubaid Matraji dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia mengatakan, RUU Sisdiknas tidak boleh tergesa-gesa untuk disahkan karena materinya masih bermasalah, bahkan fatal. Sesuai UUD 1945, pendidikan menjadi tanggung jawab negara. Negara pula yang wajib membiayai pendidikan. Akan tetapi, dalam RUU Sisdiknas ada pasal yang mewajibkan orangtua untuk ikut membiayai pendidikan.
”Dalam RUU Sisdiknas yang katanya diuji publik, pemerintah hanya membiayai jenis pembiayaan dasar. Namun, dalam pasal dan penjelasannya tidak dijelaskan komponen mana. Malah orangtua wajib membiayai dan pemerintah pembiayaan dasar. Ini sebuah kemunduran. Privatisasi dan komersialisasi pendidikan akan terjadi,” kata Ubaid.
Kritik senada disampaikan Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) yang menilai banyak pasal yang tertukar antara konsep ”hak warga negara” dan ”kewajiban negara”. Misalnya Pasal 12, ada ketentuan ”masyarakat wajib” memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan, tentu termasuk pembiayaan pendidikan di dalamnya. Padahal, seharusnya masyarakat ”berhak”. Pasal semacam ini berpotensi membuat pemerintah lepas tanggung jawab, khususnya dalam pembiayaan penyelenggaraan pendidikan.
”Lebih menyedihkan, pembiayaan pendidikan yang dimaksud terbatas pada ’pembiayaan dasar’ saja, itu pun hanya bagi sekolah dengan kriteria tertentu (Pasal 80 Ayat 1-3). Pasal ini jelas sekali membuka ruang diskriminasi pendidikan, padahal prinsip penyelenggaraan pendidikan adalah berkeadilan, nondiskriminatif, dan inklusif (Pasal 5). Tampak antarpasal bersifat kontradiktif,” kata Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi Guru P2G.
Sementara itu, Ketua Bidang Kajian dan Riset Kebijakan Pendidikan Nahdlatul Ulama (NU) Circle Ki Bambang Parma menilai, RUU Sisdiknas memiliki desain besar yang memosisikan pendidikan nasional sebagai komoditas. Pendidikan masuk dalam ranah bisnis dan perdagangan. RUU Sisdiknas dinilai sengaja melepaskan tanggung jawab negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
”Ini fatal sekali. Negara itu diberi mandat oleh Pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi dalam RUU ini tanggung jawab negara itu dilepaskan,” ujar Ki Bambang.
NU Circle menilai RUU Sisdiknas meminggirkan dan memarjinalkan peran agama dalam membangun moralitas anak Indonesia dan membangun peradaban bangsa. Agama tidak dianggap sebagai sesuatu yang penting dan strategis. Agama hanya menjadi faktor penjelas dalam nondiskriminatif.
”Ini berbahaya. Sangat berbahaya bagi bangsa ini. Sebab, sila Pancasila itu Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan nondiskriminatif,” ujar Bambang.
Lemah
Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim mengatakan, RUU Sisdiknas terlihat hanya didesain untuk mengakomodasi dan melegitimasi program kerja Kemendikbudristek era Nadiem Makarim belaka. Contoh, istilah Profil Pelajar Pancasila (PPP) sebenarnya hanya program kerja temporer yang dimuat dalam dokumen Renstra Kemendikbudristek Tahun 2020-2024. Melalui Permendikbud Nomor 22 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Kemendikbudristek 2020-2024, PPP menjadi program kerja Nadiem.
Anehnya, PPP masuk dalam RUU Sisdiknas, bahkan berkedudukan sangat tinggi, yaitu menjadi ”fungsi pendidikan nasional”. Pendeknya, pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan potensi pelajar agar menjadi warga negara sesuai dengan enam dimensi PPP.
Padahal, PPP masih mengandung persoalan secara filosofis, akademis, sosiologis, historis, dan pedagogis. Bagaimana bisa kualifikasi karakter pelajar Pancasila itu dikonstruksi menjadi enam dimensi, sedangkan Pancasila saja terkandung lima nilai sila. Bahkan, pengembangan nilai karakter Pancasila bagi siswa sudah dimuat dalam Perpres Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter yang memuat 18 nilai karakter berdasarkan Pancasila yang kemudian dikristalisasi menjadi lima karakter utama.
Satriwan mempertanyakan mengapa Kemendikbudristek terkesan memaksakan Profil Pelajar Pancasila itu menjadi enam dimensi dan memasukkan ke RUU Sisdiknas. Padahal, perpres sudah mengaturnya eksplisit menjadi 18 nilai, lalu diperas menjadi lima nilai yang masih berlaku hingga sekarang.
”P2G menilai cara-cara semacam ini berpotensi menjadikan UU Sisdiknas lemah, tidak futuristik, jangka pendek, sangat parsial, tidak menyentuh persoalan mendasar, dan lebih kental politisnya ketimbang pendidikannya,” kata Satriwan.
Oleh karena itu, P2G masih berharap Kemendikbudristek terus membuka ruang dialog yang terbuka, jujur, dan partisipatif bersama semua pemangku kepentingan pendidikan. Jangan terburu-buru mengesahkannya menjadi UU.
”Jangan sampai Kemendikbudristek dan DPR berlindung di balik alasan pandemi, secepat kilat sehingga proses pembahasan RUU ini bernasib seperti RUU Cipta Kerja atau UU IKN,” ujar Satriwan.
Bambang mengatakan, NU Circle menilai RUU Sisdiknas menanamkan Pancasila sebagai doktrin, bukan sebagai sistem nilai luhur bangsa Indonesia yang kemudian menjadi dasar negara Indonesia.
”RUU Sisdiknas yang saat ini dibuat Menteri Nadiem sangat berbahaya bagi kebangsaan dan kelangsungan bangsa Indonesia. Alih-alih ingin membentuk Profil Pelajar Pancasila, sejatinya RUU ini menjerumuskan cita-cita luhur yang sudah ditanamkan para pendiri bangsa. RUU ini bahkan bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945,” kata Bambang.
RUU Sisdiknas yang didesain pemerintah dinilai gagal mendefinisikan sistem pendidikan nasional. ”RUU Sisdiknas ini sudah gagal sejak dalam pikiran Menteri Pendidikan. Jadi, NU Circle merekomendasikan agar RUU ini tidak digunakan karena mengancam eksistensi bangsa Indonesia dan mengancam masa depan manusia Indonesia,” tegas Bambang.
jun/kompas