Fenomena menikah siri secara online marak hanya sebagai jalan pintas pelampiasan nafsu. Sah dan halalkah?

 

Musthafa Helmy

Maraknya perdagangan online (e-commerce) akhirnya diikuti pula dengan pernikahan secara on-line. Mereka menyamakan pernikahan seperti perdagangan yang bisa dilakukan melalui transaksi di alam maya.

Banyak media memberitakan aktifitas pernikahan on-line akhir-akhir ini, termasuk antara lain yang terjadi di sebuah kota di Jawa Timur. Salah seorang pelaku pernikahan ini mengungkapkan bahwa cara ini dianggap sebagai solusi menghindari perzinaan. Diakui, banyak perempuan malam yang melakukan nikah siri secara online.

Ia dinikahi seorang pria secara online yang menjadi langganannya. Mereka menikah menggunakan jasa penghulu yang bersedia menikahkan pasangan itu secara online pula, melalui piranti Skype, semacam tele-conference. Di situ juga ada saksi layaknya pernikahan. Penghulu sekaligus menjadi wali hakim. Masing-masing terpisah tempat namun disatukan melalui piranti lunak.

Lantas, dapatkah pernikahan dilaksanakan seperti itu?

Pertama, kita harus melihat bahwa pernikahan bukan permainan pelampiasan nafsu. “Allah melaknat laki-laki dan wanita yang saling mencicipi (dzawwaqin wadz dzawwaqat).” Karena itu Islam melarang nikah mut’ah yang ada transaksi batas waktu.

Kedua, pernikahan adalah ibadah yang tujuannya menciptakan keluarga sakinah dengan terciptanya keturunan.

Ketiga, Islam mengharuskan pernikahan harus diumumkan agar semua orang tahu dengan cara ada saksi dan walimah atau resepsi pernikahan. Hal ini diperlukan agar tidak terjadi fitnah.

Keempat, Islam membenarkan adanya dan keharusan penyatatan pernikahan sebagai pengaturan administratif yang banyak manfaatnya, terutama di masa sekarang yang penduduk semakin besar jumlahnya.

Kelima, rukun nikah ada lima: shighat (ijab dari wali dan kabul dari pengantin pria), dua saksi, wali, pengantin laki-laki (zawj) dan istri (zawjah) yang semuanya harus memenuhi syarat.

Keenam, disyaratkan ijab kabul bisa didengar oleh mujib (wali) dan qabil (pengantin pria) serta kedua saksi serta memahami apa yang terjadi dalam akad nikah tersebut dalam pengertian semuanya hadir dan bersaksi serta melihat dengan mata kepalanya masing-masing.

Nah, dalam pernikahan on-line adakah semua persyaratan itu terpenuhi?

Dalam kasus pernikahan di Jawa Timur tadi disebutkan bahwa wali adalah seorang penghulu. Penghulu sebenarnya adalah petugas pencatat nikah yang memang bisa menerima kewenangan sebagai wali ketika ketiadaan wali yang tentu ada prosedurnya. Begitu pula penghulu atau petugas pencatat nikah akan memeriksa pasangan yang hendak menikah, apakah keduanya itu memenuhi syarat pernikahan. Wanitanya belum bersuami dan suami juga tidak dilarang menikah (beristri empat atau tiga dan yang satu tengah iddah atau dalam keadaan ihram).

Memang, jika on-line itu difahami dengan keharusan kehadiran unsur-unsur itu, maka bisa diatasi dengan tawkil (perwakilan). Dalam akad tak diharuskan munculnya istri. Keberadaan wali, calon pengantin pria, dan saksi adalah hal yang mutlak. Dalam keadaan tertentu, memang bisa dilakukan parwakilan.

Jika pernikahan itu memang kita niatkan secara benar, kenapa harus on-line, bukankah dengan cara off-line lebih meyakinkan karena pernikahan bukan sekedar permainan kepuasan.

Tentu, pernikahan cara on-line membutuhkan pembenaran agama melalui otoritas fatwa lembaga keagamaan.

 

Bagikan ke: