Dr. Wardah Nuroniyah

(Dosen UIN Syahidda, Jakarta)

bp4 – Tradisi yang menyertai puasa bulan puasa Ramdhan sampai  menyambut Idul Fitri di Indonesia sangat tipikal “negeri Pancasila”.  Di Indonesia bulan Ramadhan dan Idul Fitri, sudah seperti menjadi milik bangsa dan semua agama di Indonesia.

Perhatikan saja, menjelang bulan Ramadhan, orang-orang Indonesia banyak yang pergi ke komplek pemakaman. Tujuannya untuk nyekar (tabur bunga di atas makam orang tua dan keluarga yang telah “pergi” mendahuluinya)  serta berdoa untuk kebaikan mereka di alam sana.

Menariknya, tradisi nyekar dan berdoa untuk “mereka” di alam kubur tersebut, tidak hanya dilakukan umat Islam. Tapi juga umat bergama lain di Indonesia seperti Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Bahkan agama-agama lokal seperti Kejawen, Sunda Wiwitan, dan lainnya melakukan hal yang serupa. Seakan sudah ada kesepakatan dan sepemahaman bahwa hari-hari suci umat Islam tersebut adalah haru-hari suci bagi  mereka juga.

Fenomena ini menggembirakan. Karena ritual-ritual agama di Indonesia yang beraneka nama itu  seakan “menyatu” dalam nuansa “spiritualitas” yang sama. Hal ini terlihat dari  banyaknya kendaraan pribadi, penuhnya gerbong kereta api, dan banyaknya orang mudik jelang bulan puasa Ramadhan dan Idul Fitri.

Mereka, masyarakat dari berbagai agama – seperti halnya umat Islam – ingin pulang kampung dan melakukan ritual mudik untuk “bertemu” dengan orang tua dan keluarganya yang sudah mendahuli pergi ke alam baka.

Apa yang bisa kita katakan tentang fenomena mudik massal dari semua etnis dan agama di hari-hari suci umat Islam tersebut? Proses kulturalisasi dari pluralisme sedang berjalan di Indonesia. Proses kulturalisasi pluralisme tersebut berjalan secara alami, tanpa bisa dibendung dengan “ajaran dan paham” apa pun.

Penulis Denny JA, Phd founder Lingkaran Survei Indonesia, menyatakan bahwa saat ini, sedang terjadi penyatuan tradisi-tradisi  agama melalui proses kulturalisasi. Pada saatnya, tulis Denny JA, akan muncul penyatuan “irisan-irisan” berbagai pandangan  agama. Dan ini akan memperkuat sendi-sendi pluralisme  dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Fenomena ini, tidak hanya terjadi di Indonesia yang mayoritas penduduknya Islam. Tapi juga di Amerika yang myoritas Kristen; di  Cina yang mayoritas Kong Hu Cu;  dan Jepang yang mayoritas Shino.

Di Hari Natal, misalnya, semua rakyat Amerika – dari agama apa pun —  larut dalam perayaan kelahiran Yesus tersebut. Di Cina, semua rang  – apa pun agamanya, bahkan yang atheis sekali pun – larut dalam ritual mudik  Gong Xi Fa Cai.

Hal yang sama terjadi di Jepang. Festival malam Chichibu dalam perayaan hari bersyukur kepada “Kami-Kami” yang menyejahterakan rakyat Jepang,  kini tak hanya dirayakan orang yang beragama Shinto. Tapi juga dirayakan mereka yang beragama Hindu, Budha, dan Islam di Jepang.

Keberagamaan di Jepang, sangat menarik. Mayoritas penduduk Jepang menganut agama lebih dari satu. Bagi orang Jepang, semakin punya  banyak Tuhan (menganut lebih dari satu agama) semakin baik. Karena orang bersangkutan mempunyai banyak Tuhan yang diminta pertolongannya.

Salahkah mereka dalam beragama? Wallahu a’lam.  Jika kebaikan agama dilihat dari perilaku masyarakatnya, keberagamaan di Jepang bisa dikataakan berhasil. Berhasil dalam pengertian bahwa moralitas agama Shinto teraplikasi dengan baik di masyarakat. Jepang adalah  negeri maju yang masyarakatnya sangat takut korupsi dan mengambil hak orang lain. Orang dengan jabatan setingkat menteri, misalnya, ketahuan korupsi ribuan dolar, langsung mengundurkan diri.

Bahkan tidak sedikit yang kemudian melakukan ritual harakiri untuk “mempertanggungjawabkan” kesalahannya.  Menteri Pertanian Jepang Toshikatsu Matsuoka, misalnya, harakiri (bunuh diri) di tahun 2007  karena tuduhan korupsi yang nilainya hanya puluhaan ribu dolar AS. Bunuh diri ini terjadi karena tidak kuat menanggung malu akibat tindakan korupsinya. Bagi orang Jepang prinsip “Tindakan adalah cermin pribadi seseorang” telah menjadi fatsun kultural yang telah meresap dalam hati.

Di sini, orang melihat kebaikan seseorang tidak dari agama dan ideologinya. Tapi dari perbuatannya. Seperti dikatakaan Dalai Lama, pimpinan spiritual agama Budha Tibet,  bahwa agama apa pun yang bisa membuatmu “lebih welas asih, lebih berpikir sehat, lebih adil, lebih humanis, lebih bertanggungjawab, dan lebih beretika” itulah agama terbaik.

Apa yang diucapkan Dalai Lama di abad ke-21 ini, sebetulnya telah ditunjukkan Nabi Muhammad yang membawa agama hanif di abad ke-7. Agama hanif itulah yang kemudian terkenal dengan nama Islam.

Sayangnya dalam praktik kehidupan sehari-hari, sering terjadi nuansa kehanifan islam (i kecil,  islam dengan makna damai, salam,  dan selamat)    terdegradasi menjadi Islam (I  besar, Islam  sebagai  identitas dan bendera) yang mengedapankan politik kekuasaan.

Dampaknya, Islam yang fitri terdisrupsi menjadi Islam yang anarki. Islam anarki ini lebih melihat kejayaan Islam dari aspek “kulit” ketimbang “isi hati nurani”. Padahal, Islam yang dibawa Nabi Muhammad bisa berkembaang di Jazirah Arab saat itu karena ajarannya mampu menaklukkan hati masyarakat padang pasir yang keras dan tribalis. Islam yang fitri, suci, dan mengembangkan ajaran kasih yang dibawa Nabi  berhasil menaklukan hati bangsa Arab yang anarki dan tribalis tadi.

Dalam konteks inilah, Prof. Dr. Yudian Wahyudi, intelektuaal muslim alumnus Harvard University AS, menyatakan   Pancasila – ideologi bangsa Indonesia yang universalitasnya diakui dunia – acap tercemar oleh pemikiran sempit sekelompok Islam yang mengusung pandangan radikal dan anarkis. Padahal  Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa sejalan dengan pandangan-pandangan universalisme Islam. Tepat apa yang dinyatakan ulama besar almarhum KH Maimun Zubair bahwa Islam dan Pancasila adalah satu tarikan nafas bagi bangsa Indonesia.

Akhirnya di hari Idul Fitri ini, umat Islam setelah berpuasa “seperti kepompong” telah lahir kembali ke dunia yang sebenarnya dengan persiapan hati yang bersih dan kental rasa manusiawi.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1443 H. Semoga Allah menyucikan hati kita dalam mengarungi kehidupan dunia yang penuh godaan fana ini. *

Bagikan ke: