Oleh: JURAIDI*
bp4pusat.id – Setiap pergantian tahun selalu dirayakan dengan suka-cita dengan berbagai cara dan bermacam-macam acara, terlebih lagi pada saat pergantian tahun baru masehi atau miladiyah, pada umumnya orang rela begadang menunggu saat tibanya waktu pukul 00:00 lebih satu detik. Berbeda dengan perayaan tahun baru hijriyah, perayaannya tidak perlu begadang karena penentuan pergantiannya pada saat matahari terbenan di sore hari.
Bagi umat Islam kedua macam perhitungan waktu sebenarnya sama saja, baik berdasarkan peredaran matahari (tahun Syamsiah) maupun perhitungan bilangan tahun berdasarkan peredaran bulan (tahu Qamariyah). Keduanya merupakan ayat Allah dan merupakan tanda kemahakuasaanNya. Itulah makanya ketika Allah menjelaskan berapa lama Ashabul Kahfi berada di dalam gua, redaksinya berbunyi:
وَلَبِثُوا فِي كَهْفِهِمْ ثَلاثَ مِائَةٍ سِنِينَ وَازْدَادُوا تِسْعًا (٢٥)
Artinya: “Dan mereka tinggal dalam gua mereka, tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi)”. (QS. Al-Kahfi: 25).
Ayat ini membuka wawasan kita tentang kalender Syamsiah yang perhitungannya berdasarkan peredaran matahari, dan kalender Qamariyah yang perhitungannya berdasarkan peredaran bulan. Perbedaannya lebih cepat kalender Qamariyah 11 hari per tahunnya, atau 1100 hari per 100 tahun, (1100 hari = 3 tahun), jadi 300 tahun sama dengan 9 tahun. Makanya terkait Ashabul Kahfi yang diselamatkan Allah dalam gua, Al-Quran menggunakan redaksi 300 tahun ditambah 9 tahun. Maksudnya 300 tahun berdasarkan perhitungan kalender Syamsiah, dan ditambah 9 tahun sehinga menjadi 309 tahun berdasarkan kalender Qamariyah. Hal ini sangat sesuai dengan ilmu pengetahuan astronomi modern sekarang ini. Dengan demikian, Allah SWT melalui firmanNya dalam Kitab Suci Al-Quran mengakomodir kedua jenis penentuan waktu, baik kalender Syamsiah, maupun kalender Qamariyah. Keduanya menjadi bukti kemahakuasaan Allah SWT, dan sekaligus menjadi bukti kemukjizatan Al-Quran yang terungkap bersamaan dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern.
Belakangan antara keduanya dipertentangkan, tahun Syamsiah/Miladiyah sebagai tahun non muslim, sedangkan tahun Qamariyah/Hijriyah merupakan tahun muslim. Padahal keduanya ciptaan Allah SWT, dan Islam menyamakan dalam arti memerlukan keduanya. Peredaran matahari (kalender Syamsiah) antara lain untuk mengetahui waktu shalat, waktu sahur, dan waktu berbuka puasa. Sementara peredaran bulan (kalender Qamariyah) diperlukan dalam menetapkan awal bulan Ramadhan, awal Syawal/Idul Fitri, Idul Adha, hari-hari Tasyrik, dan waktu berhaji/hari ‘Arafah, dan lain-lain.
Tentu ada yang berbeda, karena perhitungan tahun saat tinggalnya para pemuda di dalam gua (Ashabul Kahfi) dalam penanggalan tahun syamsiah cara menentukan pergantian hari saat itu sama yaitu ditandai dengan terbenamnya matahari, bukan tengah malam. Tetapi sejak ditemukannya alat pengukur waktu di era modern yang kemudian disebut dengan Jam, sejarah mengalami perubahan, karena sejak itu, di luar Islam, mereka menentukan pergantian hari mulai pukul 00:01 atau jam 12 malam plus 1 detik sudah berganti hari yang baru. Sedangkan Islam tetap menggunakan penentuan pergantian hari ditandai dengan terbenamnya matahari, ditandai dengan ghurratul hilal, dan sebagai penentu sahnya amaliyah yang bersifat ta’abbudi, seperti puasa, ‘idul fitri, ‘idul adha/qurnan, hari-hari tasyrik, masa iddah, dll, perhitungannya sejak terbitnya hilal (bulan sabit), bukan tengah malam. Allah berfirman:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (١٨٩)
Artinya:
“Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya[116], akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntun”. (QS. Al-Baqarah: 189).
[116] Pada masa jahiliyah, orang-orang yang berihram di waktu haji, mereka memasuki rumah dari belakang bukan dari depan. hal ini ditanyakan pula oleh Para sahabat kepada Rasulullah s.a.w., Maka diturunkanlah ayat ini.
Berkenaan dengan merayakan pergantian tahun baru Syamsiah/Miladiyah, dan tahun baru Qamariyah/Hijriyah tidak ada perintah dan juga tidak ada larangan secara langsung dari ayat Al-Quran maupun Hadits. Jadi merayakan atau tidak merayakan tidak ada kaitannya dengan ajaran agama. Hanya saja karena pergantian tahun itu ada yang menganggapnya suatu “moment” maka sayang untuk dilewatkan. Oleh karena itu, bagi yang merayakan dipersilahkan dengan cara dan acara yang positif, seperti; muhasabah, tadabbur, dzikir dan do’a bersama, dan lain sebagainya. Kalaupun mengadakan pesta tahun baru, maka hindari hal-hal negatif yang menyebabkan orang melupakan Allah. Al-Quran mengingatkan:
َلا تَكُونُوا كَالَّذِينَ نَسُوا اللَّهَ فَأَنْسَاهُمْ أَنْفُسَهُمْ أُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (١٩)
Artinya; “dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. mereka Itulah orang-orang yang fasik”. (QS. Al-Hasyr: 19)
Kita dituntut untuk memaksimalkan waktu atau kesempatan yang diberikan untuk perbuatan-perbuatan bermutu dan bermanfaat, sehingga tak menyesal di kehidupan hari akhir kelak. Orang-orang yang menyesal di akhirat digambarkan oleh Al-Qur’an mereka merengek-rengek minta kembali agar bisa memperbaiki perilakunya.
حَتَّىٰ إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ ، لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ ۚ كَلَّا ۚ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا ۖ وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ
Artinya: (Demikianlah keadaan orang-orang yang durhaka itu) hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan. (QS Al-Mu’minun: 99–100).
Imam al-Ghazali mengatakan, ketika seseorang disibukkan dengan hal-hal yang tidak bermanfaat dalam kehidupannya di dunia, maka sesungguhnya ia sedang menghampiri suatu kerugian yang besar. Sebagaimana yang ia nyatakan – dengan mengutip hadits – dalam Kitab Ayyuhal Walad, sebagai berikut:
عَلاَمَةُ اِعْرَاضِ اللهِ تَعَالَى عَنِ الْعَبْدِ، اشْتِغَالُهُ بِمَا لاَ يَعْنِيهِ، وَ اَنﱠ امْرَأً ذَهَبَتْ سَاعَةٌ مَنْ عُمُرِهِ، في غَيرِ مَا خُلِقَ لَهُ مِنَ الْعِبَادَةِ، لَجَدِيرٌ اَنْ تَطُولَ عَلَيْهِ حَسْرَتُهُ
Artinya: Pertanda bahwa Allah Taala sedang berpaling dari hamba adalah disibukkannya hamba tersebut dengan hal-hal yang tak berfaedah. Dan satu saat saja yang seseorang menghabiskannya tanpa ibadah, maka sudah pantas ia menerima kerugian berkepanjangan.
Dari penjelasan ini, kita patut memikirkan ulang tentang hakikat perayaan tahun baru. Momen tahunan ini seyogianya disikapi secara wajar dan tepat. Kebahagiaan terhadap tahun baru semestinya diarahkan kepada rasa syukur terhadap masih tersisanya usia, bukan foya foya kebanggaan atas tahun baru itu sendiri. Sisa usia itu merupakan kesempatan untuk menambal kekurangan, memperbaiki yang belum sempurna, dari perilaku hidup kita di dunia. Sebuah kata-kata Syekh Ahmad ibn Atha’illah as-Sakandari dalam Al-Hikam ini patut menjadi renungan:
رُبَّ عُمُرٍ اتَّسَعَتْ آمادُهُ وَقَلَّتْ أمْدادُهُ، وَرُبَّ عُمُرٍ قَليلَةٌ آمادُهُ كَثيرَةٌ أمْدادُهُ
Artinya: Kadang umur berlangsung panjang namun manfaat kurang. Dan terkadang umurnya hanya sebentar namun bisa memberi manfaat besar.
Semoga kita semua menjadi pribadi yang mampu memanfaatkan dan memaksimalkan sisa-sisa usia kita dengan bijak, dan terhindar dari perbuatan dan perkataan yang sia-sia. Amin ya Rabbal’alamin.
*Dosen UIN dan PTIQ Jakarta