OLEH DR. H. A. JURAIDI, MA – Ketua IV BP4 Pusat, mantan Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama RI

Penetapan awal bulan hijriyah sangat penting bagi ummat Islam karena terkait dengan pelaksanaan ibadah, terutama untuk Bulan Ramadhan, Bulan Syawal, dan Bulan Dzulhijjah. Awal Ramadhan terkait dengan memulai puasa, awal Syawal terkait dengan mengakhiri puasa dan beridul Fitri, sementara awal bulan Dzulhijjah terkait dengan pelaksanaan ibadah haji yaitu Wukuf pada tanggal 9 Dzulhijjah, dan Idul Adha pada tanggal 10 Dzulhijjah.

Pentingnya penetapan awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah  bukan saja terkait masalah ibadah, akan tetapi bagi masyarakat Islam di Indonesia yang kaya budaya, kegiatan menyambut datangnya bulan suci Ramadhan, perayaan Idul Fitri, dan Idul Adha terkait erat dengan budaya keagamaan yang mentradisi dan tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan. Dampaknya sangat luas, menyentuh hampir semua aspek kehidupan meliputi; ekonomi, sosial, budaya, keamanan, bahkan politik. Ada tradisi pulang kampung, budaya saling mengunjungi, hala bi halal,  pakaian baru khas hari raya, persediaan uang baru untuk berbagi, makanan dan kue-kue tradisonal untuk berbuka puasa dan khas hari raya, hewan qurban saat Idul Adha, dan lain sebagainya. Oleh karena itu menuntut kehadiran negara dalam pengaturan dan pemenuhannya.

Pentingnya hilal (awal bulan Hijriyah) disebutkan dalam Al-Quran, Allah berfirman:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji …..” (QS. Al-Baqarah: 189).

Pada ayat yang lain Al-Quran menjelaskan :

هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلا بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (٥)

Artinya: “Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui”. (QS. Yunus: 5).

Dari ayat tersebut  di atas  kita dapat mengambil pelajaran bahwa Allah SWT  menciptakan matahari bersinar, dan bulan bercahaya (menerima pantulan sinar matahari), beredar pada porosnya, dari bulan tsabit yang sangat kecil, kemudian  semakin hari terlihat semakin besar hingga bulan purnama, lalu mengecil kembali hingga tak terlihat, semua itu ada manzilah-manzilahnya untuk dipelajari dan dijadikan bahan perhitungan dalam penetapan waktu-waktu untuk ibadah  dan mengetahui bilangan tahun.

Pernyataan dan redaksi ayat Al-Quran tersebut di atas (matahari bersinar, dan bulan bercahaya), sangat sesuai dengan ilmu pengetahuan modern sekarang ini, sehingga akan menambah keyakinan kita terhadap kebenaran Al-Quran yang bersumber dari Yang Maha Mengetahui segalanya.

Di Indonesia setidaknya ada 3 metode yang berkembang dalam menetapkan hilal (awal bulan) Hijriyah, yaitu:

  1. Metode Wujudul-Hilal (Metode Hisab)

Metode ini menetapkan adanya hilal  berdasarkan perhitungan (hisab), artinya asal secara perhitungan sudah ada hilal maka ditetapkanlah sebagai awal bulan, tidak dipersoalkan berapa derajat ketinggiannya, dengan dua prinsip, yaitu: ijtima’ (konjungsi) telah terjadi sebelum matahari terbenam (ijtima’ qablal-ghurub), dan bulan terbenam setelah matahari terbenam  (moonset after sunset). Kelebihan metode ini hilal (awal bulan) sudah bisa diumumkan kepada masyarakat jauh hari sebelum datangnya. Di Indonesia metode ini dianut oleh Ormas Islam Muhammadiyah, dan beberapa kelompok masyarakat Islam lainnya.

  1. Metode Rukyatul Hilal (Metode Rukyat)

Metode ini mendasarkan pendiriannya pada hadits yang sangat populer: صوموا لرؤيته وافطر لرؤيته  (berpuasalah kamu jika melihat hilal, dan berbukalah (beridul fitri-lah) jika kamu melihat hilal). Dalam menentukan hilal (awal bulan) metode ini mengharuskan melihat adanya hilal (rukyat bil-fi’li), baik dengan mata telanjang maupun menggunakan alat bantu optik seperti teleskop. Rukyat dilakukan setelah matahari terbenam (pada akhir bulan) karena hilal hanya nampak setelah matahari terbenam, intensitas cahaya hilal sangat redup dibandingkan dengan sinar matahari, dan ukurannya sangat tipis. Maka tidak heran biasanya masyarakat lama menunggu laporan hasil rukyat, terlebih lagi di Indonesia yang memiliki mathla’ yang berbeda-beda antara Indonesia di bagian Timur, Tengah, dan Barat.  Hilal pada umumnya akan terlihat pada ketinggian minimal 2 (dua) derajat, ini pun jarang terjadi, di bawah itu sulit untuk dilihat, bahkan bisa dikatakan tidak mungkin. Medote Rukyat di Indonesia dipegangi oleh ormas Nahdhatul-‘Ulama (NU), dan beberapa kelompok masyarakat Islam lainnya.

  1. Metode Imkanur-Rukyat (Kemungkinan Hilal Terlihat).

Metode ini merupakan penggabungan antara metode Wujudul-Hilal dengan metode Rukyatul-Hilal. Artinya kedua metode di atas bisa dipertemukan dengan menyepakati kriteria. Misalnya hilal (awal bulan) ditetapkan dengan ketinggian minimal  3 derajat. Jika kurang dari 3 derajat belum bisa ditetapkan sebagai awal bulan, dan jika sudah 3 derajat ketinggian hilal maka kemungkinan dilihat sangat besar sekali probabilitasnya. Hal ini yang dicoba dilakukan oleh Pemerintah dalam menyamakan pandangan para pakar ilmu Falak  (metode hisab dan rukyat) yang ada di masing-masing ormas Islam, dan menyatukan (unifikasi) kalender hijriyah melalui pembentukan Badan Hisab dan Rukyat Kementerian Agama yang anggotanya terdiri dari berbagai unsur ormas Islam yang ada di Indonesia.

Kriteria penetapan awal bulan dengan ketinggian hilal minimal 3 derajat telah menjadi kesepakatan hasil Seminar Internasional Fikih Falak yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 30 November 2017 dengan sebutan Rekomendasi Jakarta 2017, sebagai pelengkap kriteria yang sudah ada sebelumnya yaitu Kriteria Istambul Turki Tahun 2016 dengan melakukan modifikasi kriteria elongasi minimal 6,4 derajat, tinggi minimal 3 derajat, dengan markaz kawasan Barat Asia Tenggara.

Masyarakat tentu berharap  semoga bisa terwujud kesepakatan kriteria di antara para pimpinan ormas Islam, sehingga pelaksanaan Awal Puasa Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha bisa seragam  di Indonesia.

Bagi kita masyarakat awam, tidak perlu resah, karena ada pemerintah sebagai ulil-amri yang bertanggung jawab dalam penetapan awal bulan-bulan hijriyah, khususnya yang terkait ibadah puasa, idul fitri, dan idul adha. Perintah mentaati ulil-amri selama ulil-amri mengikuti ketentuan Allah dan RasulNya termaktub dalam Al-Quran:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا (٥٩)

Artinya: ‘Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya’. (QS. An-Nisa’: 59).

Meskipun kita awam dalam hal cara penetapan awal bulan Hijriyah, tapi kita punya pedoman, yaitu mengikuti pemerintah, dimana kita mengetahui dalam penetapannya pemerintah melibatkan para ulama dan para pakar di bidang ilmu falak, serta akomodatif terhadap beberapa metode yang berkembang, khususnya metode hisab dan metode rukyat, maka dengan sikap beragama yang seperti ini akan mendatangkan ketenangan dalam menjalankan ibadah. Dan kita tetap menghormati terhadap kelompok yang berbeda keyakinan dan pemahaman keagamaannya. Wallahu a’lam.

Bagikan ke: