1. DASAR HUKUM

Dasar hukum terkait pembagian waris adalah Firman Allah yang terdapat dalam Surat An-Nisa’ ayat 11-12, dan ayat 176, sebagai berikut:

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلأبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلأمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلأمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا (١١) وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَهُنَّ وَلَدٌ فَلَكُمُ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْنَ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِينَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَلَهُنَّ الرُّبُعُ مِمَّا تَرَكْتُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكُمْ وَلَدٌ فَإِنْ كَانَ لَكُمْ وَلَدٌ فَلَهُنَّ الثُّمُنُ مِمَّا تَرَكْتُمْ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ تُوصُونَ بِهَا أَوْ دَيْنٍ وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُورَثُ كَلالَةً أَوِ امْرَأَةٌ وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْتٌ فَلِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ فَإِنْ كَانُوا أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاءُ فِي الثُّلُثِ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ وَصِيَّةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَلِيمٌ (١٢)

 

Artinya: :Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris. (Allah Menetapkan yang demikian (sebagai) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”. (QS. An-Nisa’: 11-12).

 

يَسْتَفْتُونَكَ قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِي الْكَلالَةِ إِنِ امْرُؤٌ هَلَكَ لَيْسَ لَهُ وَلَدٌ وَلَهُ أُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَ وَهُوَ يَرِثُهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا وَلَدٌ فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ وَإِنْ كَانُوا إِخْوَةً رِجَالا وَنِسَاءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأنْثَيَيْنِ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ أَنْ تَضِلُّوا وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (١٧٦)

 

Artinya: “Mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah (seseorang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak. Katakanlah: Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. An-Nisa’: 176)

 

Ketiga ayat tersebut di atas menjelaskan ketentuan orang-orang terdekat atau kerabat yang berhak mendapatkan harta warisan, berikut tiap-tiap pembagiannya (persentasi yang diterima). Ada enam pembagian yang ditentukan sebagaimana digariskan ayat-ayat mawarist, yaitu ½, ¼, 1/8, 1/3, 2/3, dan 1/6. Deretan kerabat yang termaktub dalam ketiga ayat tersebut kemudian dikenal dengan istilah ashab al-furudl.

  1. ORANG-ORANG YANG BERHAK MENDAPATKAN WARISAN (ASHAB AL-FURUDL)

 

Kelompok ashab al-Furudl ini terdiri atas keluarga yang ditinggalkan, baik laki-laki maupun perempuan. Dari pihak laki-kaki, yang berhak mendapatkan harta waris  ada 15 (lima belas) yaitu: anak laki-laki, cucu laki-laki, sampai ke atas dari garis anak laki-laki, ayah, kakek sampai ke atas garis ayah, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah, saudara laki-laki seibu, anak laki-laki saudara kandung sampai ke bawah, anak laki-laki saudara seayah sampai ke bawah, paman kandung, paman seayah, anak paman kandung sampai ke bawah, anak paman seayah sampai ke bawah, suami, dan laki-laki yang memerdekakan.

Apabila 15 kelompok laki-laki tersebut hidup semua, maka yang berhak mendapatkan warisan hanya 3 saja, yaitu: (1) Ayah, (2) Anak, dan (3) Suami. Selain 3 laki-laki tersebut adalah mahjub (terhalang).

Sementara itu, ahli waris dari perempuan adalah anak perempuan, cucu perempuan sampai ke bawah dari anak laki-laki, ibu, nenek sampai ke atas dari garis ibu, nenek sampai ke atas dari garis ayah, saudara perempuan kandung, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu, istri, wanita yang memerdekakan.

Apabila 11 kelompok perempuan tersebut hidup semua, maka yang berhak mendapatkan warisan hanya 5 saja, yaitu: (1) Ibu, (2) Anak Perempuan, (3) Cucu Perempuan dari anak laki-laki, (4) Isteri dan (5) Saudari Perempuan. Selain 5 perempuan adalah mahjub (terhalang).

Bila semua ahli waris baik kelompok laki-laki maupun perempuan masih hidup  semuanya, maka yang berhak menerima harta warisan hanya 5 orang saja yaitu (1) Ayah, (2) Anak laki-laki, (3) Suami/Isteri, (4) Anak Perempuan, (5) Ibu.

  1. BESARAN PEMBAGIAN WARISAN

Dari sekian ahli waris yang dikategorikan dalam ashab al-furudl ini, mereka berhak dapat bagian dari harta bagian yang besarannya telah ditentukan dalam QS An-Nisa’ [4]: 11-12 dan 176 di atas, adalah sebagai berikut:

Ashab al-Furudl 1/2

Ahli waris yang mendapatkan bagian 1/2 adalah: (1) suami, apabila istri yang meninggal tidak mempunyai anak, baik laki-laki maupun perempuan; (2) Anak perempuan tunggal; (3) Anak perempuan dari anak laki-laki; dan (4) Saudara perempuan jika dia sendirian dan tidak ada kerabat lain yang menghalanginya.

 Ashab al-Furudl 1/4

Kerabat yang termasuk kategori ini ada dua, yaitu: (1) suami,  jika istri yang meninggal mempunyai anak; (2) istri baik satu orang maupun lebih apabila almarhum suami tidak meninggalkan anak atau tidak juga anak dari anak laki-laki, baik laki-laki atau perempuan.

 Ashab al-Furudl 1/8

Yang termasuk kategori ini adalah isteri, baik satu maupun lebih (maksimal empat), dengan catatan jika suami yang meninggal mempunyai anak atau anak dari anak laki-laki.

 Ashab al-Furudl 2/3

Ada 4 (empat) ahli waris yang termasuk kategori ini. (1) Dua anak perempuan atau lebih dengan syarat tidak ada anak laki-laki. (2) Dua anak perempuan atau lebih dari anak laki-laki jika tidak ada anak perempuan dan tidak terdapat ahli waris lain yang menjadi penghalang. (3) Dua orang saudara perempuan kandung (seibu sebapak) atau lebih selama tidak ada ahli waris yang menjadi penghalang; dan (4) Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih dengan syarat tidak ada saudara perempuan kandung dan tidak ada ahli waris lain yang menghalangi.

 Ashab al-Furudl 1/3

Ibu dan dua orang saudara atau lebih yang seibu adalah dua kerabat yang termasuk kelompok ini. (1) Ibu, apabila almarhum tidak mempunyai anak atau anak dari anak laki-laki (cucu laki-laki atau perempuan) dan tidak pula meninggalkan dua orang saudara atau lebih, baik laki-laki maupun perempuan; (2) Dua orang  saudara atau lebih yang seibu baik laki-laki ataupun perempuan dengan syarat apabila tidak ada orang lain yang berhak menerima.

Ashab al-Furudl 1/6

(1) Ayah, apabila yang meninggal memiliki anak atau anak dari anak laki-laki; (2) Ibu, apabila yang meninggal  mempunyai anak atau anak dari anak laki-laki dengan dua saudara kandung atau lebih, baik laki-laki maupun perempuan yang seibu seayah, seayah, atau seibu saja; (3) Kakek (dari ayah), apabila ada anak atau anak dari anak laki-laki dan tidak ada ayah; (4) Nenek (baik dari jalur ibu maupun ayah) selama tidak ada ibu; (5) Satu orang anak perempuan dari anak laki-laki (cucu) atau lebih jika ada anak seorang anak perempuan, serta tidak ada ahli waris lain yang menghalangi; (6) Saudara perempuan sebapak apabila ada saudara perempuan kandung (seibu seayah) serta tidak ada ahli waris lain yang menghalangi; dan (7) Saudara laki-laki atau perempuan seibu jika tidak ada ahli waris lain yang menjadi penghalang.

  1. PEMBAGIAN WARIS SECARA AL-‘AUL DAN AL-RADD

Definisi al-‘aul menurut istilah fuqaha yaitu bertambahnya jumlah bagian fardh dan berkurangnya nashib (bagian) para ahli waris.

Masalah ‘aul pertama kali muncul pada masa khalifah Umar bin Khathab r.a.,  Ibnu Abbas berkata: “Orang yang pertama kali menambahkan pokok masalah (yakni ‘aul) adalah Umar bin Khathab. Dan hal itu ia lakukan ketika fardh yang harus diberikan kepada ahli waris bertambah banyak. Secara lebih lengkap, riwayatnya dituturkan seperti berikut: Seorang wanita wafat dan meninggalkan suami dan dua orang saudara kandung perempuan. Yang masyhur dalam ilmu faraid, bagian yang mesti diterima suami adalah setengah (1/2), sedangkan bagian dua saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3). Dengan demikian, berarti fardh-nya telah melebihi peninggalan pewaris. Namun demikian, suami tersebut tetap menuntut haknya untuk menerima setengah dari harta waris yang ditinggalkan istri, begitupun dua orang saudara kandung perempuan, mereka tetap menuntut dua per tiga yang menjadi hak waris keduanya.

Menghadapi kenyataan demikian Umar kebingungan. Dia berkata: “Sungguh aku tidak mengerti, siapakah di antara kalian yang harus didahulukan, dan siapa yang diakhirkan. Sebab bila aku berikan hak suami, pastilah saudara kandung perempuan pewaris akan dirugikan karena berkurang bagiannya. Begitu juga sebaliknya, bila aku berikan terlebih dahulu hak kedua saudara kandung perempuan pewaris maka akan berkuranglah nashib (bagian) suami.” Umar kemudian mengajukan persoalan ini kepada para sahabat Rasulullah saw. Di antara mereka ada Zaid bin Tsabit dan menganjurkan kepada Umar agar menggunakan ‘aul. Umar menerima anjuran Zaid dan berkata: “Tambahkanlah hak para ashhabul furudh akan fardh-nya.” Para sahabat menyepakati langkah tersebut, dan menjadilah hukum tentang ‘aul (penambahan) fardh ini sebagai keputusan yang disepakati seluruh sahabat Nabi saw.

Pokok masalah yang ada di dalam ilmu faraid ada tujuh. Tiga di antaranya dapat di-‘aul-kan, sedangkan yang empat tidak dapat. Adapun ketiga pokok masalah yang dapat di-‘aul-kan adalah enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24). Sedangkan pokok masalah yang tidak dapat di-‘aul-kan ada empat, yaitu dua (2), tiga (3), empat (4), dan delapan (8).

 

  1. Contoh Kasus ‘Aul

Ibu Murni dan Bapak Mulyadi menikah pada tahun 2007. Ibu Murni yang berprofesi sebagai guru di sebuah sekolah SMA dan Bapak Mulyadi  yang berprofesi sebagai anggota POLRI di Polres. Selama menikah keduanya tidak dikaruniai seorang anak pun. Pada tahun 2012 bu Murni menderita sakit kanker kandungan sehingga ia pun meninggal pada tahun 2013

Ibu Murni meninggalkan beberapa harta mulai dari tanah, emas. Dan tabungan,  yang jika dikalkulasikan sebesar Rp. 420.000.000,- . Ibu Murni meninggalkan seorang suami, dan dua orang saudari kandung yang bernama Rara dan Luna. Bagaimanakah pembagian harta waris masing-masing sesuai hukum kewarisan Islam yang memiliki keadilan secara prosedural dan secara substansial?.

Kedudukan dan posisi ahli waris yang berhak yaitu:

1). Suami (Dzawil furudh sababiyah, mendapat bagian ½ karena pewaris tidak mempunyai anak). Dalilnya:

وَلَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ أَزْوَاجُكُمْ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُنَّ وَلَدٌ

Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak…..”. (QS. An-Nisa’: 12).

 

2). Dua Saudari kandung (mendapat bagian 2/3, karena yang meninggal tidak mempunyai anak). Dalilnya:

فَإِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثَانِ مِمَّا تَرَكَ

Artinya: “….. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal…..”. (QS. An-Nisa’: 176).

 

Penyelesaian kasus melalui ‘Aul

 

Ahli Waris Fard Asal Masalah=6 Sihamnya=7 (3 dan 4) Pembagian (di-Aul-kan)

Penyebut jadi 7

Suami ½ ½ x 6 = 3 3/7 x Rp. 420.000.000,-= Rp. 180.000.000,-
Dua Saudari Kandung 2/3 2/3 x 6 = 4 4/7 x Rp. 420.000.000,-= Rp. 240.000.000,-

Dari tabel di atas jelas bahwa dengan asal masalah 6, maka harta waris yang dibagi ternyata kurang Rp. 70.000.000. Maka perhitungan yang demikian jelas tidak bisa diterima.   Lalu bagaimana solusi agar masalah ‘aul ini terselesaikan?   Para ulama faraidl mengajarkan bila terjadi masalah ‘aul maka asal masalah yang ada tidak dipakai untuk membagi nominal harta waris yang akan dibagi. Sebagai gantinya jumlah siham (majmû’ sihâm) lah yang digunakan untuk membagi nominal harta waris tersebut. Dalam hal ini jumlah siham (majmu’ siham) = 7. Maka pada kasus di atas harta warisan yang berjumlah Rp. 420.000.000 dibagi menjadi 7 bagian di mana masing-masing bagian sebesar Rp. 60.000.000. Dengan demikian maka perolehan harta warisan masing-masing ahli waris adalah sebagai berikut:   Suami : 3 x Rp. 60.000.000 = Rp. 180.000.000 dan dua saudara perempuan sekandung : 4 x Rp. 60.000.000 = Rp. 240.000.000. Jadi, sesuai dengan jumlah harta yang dibagi yaitu Rp. 420.000.000   Dengan demikian maka harta warisan bisa mencukupi dan terbagi habis tanpa ada kekurangan, dapat memenuhi keadilan baik secara prosedural, maupun  secara substansial.

  1. Contoh Kasus RADD

Adapun ar-radd menurut istilah ulama ilmu faraid ialah berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya/lebihnya jumlah bagian ashhabul furudh. Al-radd merupakan kebalikan dari al-‘aul.  Sebagai misal, dalam suatu keadaan (dalam pembagian hak waris) para ashhabul furudh telah menerima haknya masing-masing, tetapi ternyata harta warisan itu masih tersisa –sementara itu tidak ada sosok kerabat lain sebagai ‘ashabah– maka sisa harta waris itu diberikan atau dikembalikan lagi kepada para ashhabul furudh sesuai dengan bagian mereka masing-masing.

Dengan kata lain, yang dimaksud dengan al-radd  adalah pengembalian bagian yang tersisa dari bagian dzawil furudh nasabiyah kepada mereka, sesuai dengan besar-kecilnya bagian masing-masing bila tidak ada lagi orang lain yang berhak menerimanya

Radd akan diberikan kepada ahli waris ashabul furudh, kecuali suami, isteri, ayah dan kakek pewaris. Karena suami dan istri bukanlah hubungan kekerabatan nasab (dzawil furudh nasabiyah).

 

Contoh kasus :

Pak Dodi adalah seorang pemborong. Ia mempunyai seorang istri dan seorang anak perempuan. Istri pak Dodi meninggal sebulan yang lalu karena terkena serangan jantung. Sehingga Pak Dodi  kehilangan istri yang dicintainya.

Akhir-akhir ini kesehatan pak Dodi mengalami penurunan akibat penyakit paru-paru yang dideritanya. Rokok yang merupakan sesuatu yang digandrungi pak Dodi telah merenggut nyawanya tahun ini. Pak Dodi meninggalkan, seorang anak perempuan, dan Ibu.

Pak Dodi tergolong Jutawan yang sukses karena ketika dikalkulasikan hartanya sebesar Rp. 6.000.000.000,-. Bagaimanakah pembagian harta waris yang sesuai dengan perspektif konsep hukum waris Islam yang berkeadilan prosedural dan berkeadilan substansial?.

Kedudukan dan Posisi Ahli Waris :

1). Seorang anak perempuan (mendapat bagian 1/2 harta waris). Dalilmya:

وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ

Artinya: “….. jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta…..”. QS. An-Nisa’: 11)

2). Ibu (mendapat bagian 1/6 harta waris, karena pewaris mempunyai anak). Dalilnya:

وَلأبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ

Artinya: “…..dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak …..”. QS. An-Nisa’: 11.

 

Penyelesaian kasus melalui Radd:

 

Ahli Waris Fard Asal Masalah=6, sihamnya= 4 (3 dan 1) Pembagiannya (di-Radd-kan)

Penyebut jadi 4

Seorang Anak Perempuan ½ ½ x 6 = 3 ¾ x Rp. 6.000.000.000,- = Rp.4.500.000.000,-
Ibu

 

1/6 1/6 x 6 = 1 ¼ x Rp. 6.000.000.000,- =  Rp. 1.500.000.000,-

 

Berdasarkan tabel di atas jika penyelesaian pembagian waris menggunakan asal masalah yang pertama, maka harta akan mengalami kelebihan sebesar Rp. 2.000.000.000,- karena bagian ahli waris total sebanyak Rp. 4.000.000.000,- yaitu: Seorang anak perempuan mendapat ½ dari Rp. 6.000.000.000,- = Rp.3.000.000.000,- dan Ibu mendapat 1/6 dari Rp. 6.000.000.000,- = Rp.1.000.000.000,- total Rp. 4.000.000.000,- sedangkan harta waris sebesar Rp. 6.000.000.000,-. Akan tetapi setelah di-radd-kan, jumlah masing-masing harta waris yang diterima ahli waris adalah sesuai dengan kaidah hukum kewarisan, yakni anak perempuan mendapatkan Rp. 4.500.000.000,- dan Ibu mendapatkan Rp. 1.500.000.000,-

Dengan demikian, secara keadilan prosedural telah memenuhi syarat karena diselesaikan dengan prosedur hukum yang berlaku dan secara keadilan substansial telah memenuhi syarat juga karena masing-masing ahli waris mendapat bagian yang semestinya. Wallahu A’lam.

Bagikan ke: