Oleh M. Fuad Nasar
(Penulis adalah Ketua II Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4 Pusat))
Tanggal 15 Mei diperingati di seluruh dunia sebagai Hari Keluarga Internasional (International Day of Families). Peringatan Hari Keluarga Internasional tahun 2023 mengusung tema Keluarga dan Perubahan Demografi.
Pembangunan kependudukan dan pemanfaatan bonus demografi menentukan keberlangsungan bangsa di masa mendatang. Betapa tidak, keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat. Konsep dan istilah yang kita kenal, seperti keluarga sakinah, keluarga sejahtera, keluarga harmonis, keluarga maslahah dan sebagainya, secara fundamental menggambarkan peran sentral nilai-nilai agama, akhlak dan moral yang harus senantiasa dijaga dalam kehidupan keluarga dan rumah tangga. Kerapuhan keluarga mengakibatkan kerapuhan masyarakat.
Dimensi permasalahan kependudukan dalam konsteks isu demografi bukan hanya berkaitan dengan angka kelahiran dan kematian, jumlah penduduk, sebaran penduduk, pendidikan, kesehatan, tingkat produktivitas dan usia harapan hidup. Permasalahan kependudukan tidak dapat dipisahkan dari isu ketahanan keluarga. Perkawinan dan kesejahteraan keluarga bagi sebagian besar penduduk Indonesia merefleksikan bagaimana kehidupan beragama ditegakkan mulai dari unit kehidupan yang terkecil dalam hal ini institusi keluarga.
Hormati Lembaga Pernikahan
Membangun keluarga berlandaskan ajaran dan nilai-nilai agama pada dasarnya adalah sebuah keniscayaan bagi umat Islam. Pernikahan sebagai basis pembentukan keluarga dan rumah tangga dilukiskan dalam Al-Quran (QS An-Nisaa [4]: 21) sebagai mitsaqan ghaliza (janji yang kuat, perjanjian yang agung).
Sejalan dengan pesan kalam suci Al-Quran, setiap muslim wajib menghormati lembaga pernikahan. Islam menghormati lembaga pernikahan dan melindungi ketahanan keluarga dengan norma syariat dan bimbingan moral yang paripurna.
Dalam Al Quran dan As-Sunnah sebagai pedoman hidup muslim terdapat tuntunan memilih jodoh, masalah khitbah, mahar, kriteria wali nikah, ijab qabul pernikahan, nafkah dalam pernikahan, hak dan kewajiban suami-istri, adab berumah tangga, pola asuh anak, muhrim, peran hakam (baca: juru damai) dalam mengatasi perselisihan rumah rangga, pengaturan tentang talak dan rujuk, soal hibah, wasiat dan waris, dan sebagainya.
Setiap pria dan wanita yang menjadi suami dan istri serta orangtua bagi anak-anaknya harus punya kemampuan dan kearifan dalam mengatasi segala tantangan, problematika kehidupan, ujian, godaan dan guncangan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Ketahanan keluarga merupakan landasan ketahanan umat dan bangsa.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 1, menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Senada dengan itu, Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, dalam Ketentuan Umum, Pasal 1, menegaskan bahwa keluarga berkualitas adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah dan bercirikan sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam modul Pembangunan Ketahanan Keluarga (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2016) terdapat 5 indikator ketahanan keluarga yang perlu diupayakan, ialah: (1) adanya sikap saling melayani sebagai tanda kemuliaan; (2) adanya keakraban antara suami dan istri menuju kualitas perkawinan yang baik; (3) adanya orang tua yang mengajar dan melatih anak-anaknya dengan berbagai tantangan kreatif, pelatihan yang konsisten, dan mengembangkan keterampilan; (4) adanya suami dan istri yang memimpin seluruh anggota keluarganya dengan penuh kasih sayang; dan (5) adanya anak-anak yang menaati dan menghormati orang tuanya.
Peningkatan Angka Perceraian
Ketua Umum Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4 Pusat) Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, MA, mensinyalir Indonesia saat ini menghadapi darurat perceraian. Imam Besar Masjid Istiqlal itu mengingatkan bahwa bangsa yang kuat tidak bisa dibangun di atas keluarga yang rapuh dan berantakan.
Peningkatan angka perceraian atau perkawinan gagal terjadi di kota dan di pedesaan. Di daerah-daerah yang dikenal dengan karakter masyarakatnya agamis terjadi peningkatan angka perceraian yang signifikan. Kerapuhan keluarga merupakan persoalan bangsa yang harus ditanggulangi dengan mengatasi akar masalahnya.
Sebagai bangsa beragama dan bagian dari masyarakat dunia, bangsa Indonesia tidak boleh mengabaikan fenomena global berkaitan dengan masalah perkawinan dan keluarga. Sejumlah negara kini menghadapi krisis demografi karena angka kelahiran yang menurun. Hal itu disebabkan sikap enggan menikah dan tidak mau punya anak (childfree) pada sebagian warga masyarakat. Bahkan di beberapa negara, pemerintah memandang perlu memberi tunjangan kepada pria yang mau menikah dan memiliki anak, seperti Italia, Portugal, Jepang, Rusia, Singapura, dan Jerman.
Melonjaknya angka perceraian merupakan fakta paling ekstrem yang menunjukkan berubahnya pandangan masyarakat tentang nilai sakral pernikahan dan dampak pola hidup yang makin individualistis. Di masa lampau, keluarga dekat, kerabat, tetangga dan sahabat turut merasa bertanggungjawab terhadap keberlangsungan perkawinan yang bermasalah. Belakangan, sikap tidak peduli terhadap urusan privasi orang lain semakin banyak ditemukan, malah sebagian orang tidak mau persoalan rumah tangganya dicampuri oleh pihak ketiga, kecuali mungkin oleh penasihat perkawinan yang profesional dan amanah.
Menurut data, sebelum Covid kasus perceraian di negara kita mencapai jumlah 10 % dari peristiwa nikah setiap tahun dan di sebagian wilayah angka perceraian mencapai 23,82 persen dalam setahun. Pada masa covid dan pasca-covid, angka perceraian meningkat tajam. Sebanyak 80 % perceraian terjadi pada usia perkawinan di bawah 10 tahun dan sebagian besar adalah kasus gugat cerai dari pihak istri.
Keberadaan Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) yang memiliki sejarah panjang adalah sebagai upaya umat Islam dan bangsa Indonesia untuk memelihara nilai-nilai perkawinan dan keluarga. Organisasi BP4 yang dirintis semenjak 1954 merupakan tonggak penting kebangkitan kesadaran masyarakat untuk memperkokoh ketahanan keluarga. Dalam Anggaran Dasar BP4 yang disusun pertama kali pada tahun 1960 ditetapkan bahwa organisasi ini bertujuan untuk mempertinggi nilai perkawinan, mencegah perceraian sewenang-wenang, mewujudkan susunan rumah tangga yang bahagia sejahtera sepanjang tuntunan Islam.
Para ahli pendidikan dan psikologi perkembangan mengingatkan bahwa anak-anak yang dibesarkan di dalam keluarga bahagia berbeda perkembangan mental-kepribadiannya dengan anak-anak yang dibesarkan di tengah keluarga berantakan atau broken home. Ketahanan keluarga sedikitnya menyangkut suami, istri dan anak dalam sebuah relasi kehidupan dan ekosistem kekeluargaan yang melembaga di masyarakat.
Dakwah selama ini telah banyak mengajarkan kepada umat bahwa menikah adalah sunah Rasul dan siapa yang tidak menyukainya bukanlah umat Nabi Muhammad yang baik. Saat ini diperlukan penguatan dakwah untuk membimbing umat dengan ilmu perkawinan, tuntunan membina keluarga bahagia dan memelihara ketahanan keluarga.
H.S.M. Nasaruddin Latif, konselor keluarga dan pelopor lahirnya BP4 dalam tulisan klasik “Kepentingan Nasihat Perkawinan Di Indonesia” (Kiblat No 8, September Ke-II Tahun XV/1967) mengemukakan, “Pernikahan, rumah tangga dan keluarga adalah lembaga masyarakat tempat kita membina dan membentuk dasar kehidupan nasional yang sehat untuk sekarang dan yang akan datang. Memang ada ahli sosiologi yang berpendapat lambat laun lembaga pernikahan akan hilang dari masyarakat. Tetapi kita sebagai muslim tidak berkeyakinan demikian. Sebab kita yakin selama di Indonesia masih ada keimanan kepada Tuhan dan agama, pasti lembaga pernikahan akan tetap ada dalam masyarakat Indonesia sampai akhir zaman.”
Mengapa banyak terjadi perceraian dalam masyarakat kita. Konsultan senior BP4 Pusat Dra. Hj. Zubaidah Muchtar dalam buku Kapita Selekta Cinta Perkawinan dan Keluarga (2018) menyebut fakta empiris penyebab perselisihan dan perceraian, di antaranya: (1) masalah moral-akhlak, seperti tak ada kejujuran, judi, minuman keras dan perzinaan, narkoba, perselingkuhan, LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender/Transeksual), KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), dan lain-lain. (2) Gangguan pihak ketiga, seperti mertua, ipar, pembantu rumah tangga, anak tiri, ibu tiri/ayah tiri, dan lain-lain, mungkin juga rekan kerja. (3) Ekonomi rumah tangga, suami tak bertanggungjawab dalam nafkah, tidak adanya keterbukaan antara suami dan istri dalam hal keuangan. (4) Tidak ada restu orangtua dalam pernikahan. (5) Perbedaan dalam agama dan ideologi. (6) Poligami illegal atau nikah siri. (7) Masalah pembagian harta gono-gini/harta waris. (8) Perbedaan usia yang sangat jauh antara suami dan istri, tidak memperoleh keturunan dalam pernikahan, dan sebagainya.
Program Bimbingan Perkawinan
Kesadaran dan wawasan umat mengenai hal ihwal kehidupan keluarga dan rumah tangga, strategi menjaga ketahanan keluarga, dan manajemen rumahtangga, perlu dibangun melalui forum pendidikan formal dan informal/nonformal, seperti program ekstrakurikuler, pengajian, majelis taklim, kursus, kegiatan organisasi profesi, serta pendidikan/pelatihan kepemimpinan kader di lingkungan ormas-ormas Islam dan organisasi kemahasiswaan di kampus. Selain itu mengembangkan jangkauan layanan konsultasi keluarga, advokasi dan mediasi konflik keluarga. Kementerian Agama, Pemerintah Daerah melalui suku dinas terkait, BP4 Pusat dan BP4 daerah, Pemerintah Daerah, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan ormas-ormas Islam lainnya seperti NU, Muhammadiyah, perguruan tinggi dan stake-holder lain seperti KOWANI (Kongres Wanita Indonesia) perlu bersinergi dan berkolaborasi dalam program penguatan ketahanan keluarga.
Dalam konteks hukum negara perlu dilakukan pengetatan putusan hakim Pengadilan Agama ketika mengadili gugatan perkara cerai. Hakim Pengadilan Agama diharapkan mengedepankan terlebih dahulu mediasi oleh BP4 di luar atau sebelum proses perkara di pengadilan. Di lingkungan masyarakat hukum adat, sangat penting memberdayakan dan memfungsikan peranan dan kewibawaan lembaga adat dalam lingkungan kekerabatan untuk mendamaikan perselisihan perkawinan dan mencegah terjadinya perceraian pada anak-kemenakan.
Para remaja usia nikah, calon pengantin, bahkan para suami-istri yang sudah lama menikah membutuhkan pembekalan dan diingatkan; untuk apa menikah, apa peran, tugas dan tanggungjawab suami-istri di dalam perkawinan dan diajari manajemen kerumah tanggaan.
Kementerian Agama melalui Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam memiliki program unggulan yakni Bimbingan Perkawinan (Bimwin) pada setiap Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan. Program Bimwin diproyeksikan untuk menyiapkan calon pengantin dengan bekal yang memadai dari berbagai aspek kehidupan perkawinan sebelum memasuki gerbang pernikahan dan rumah tangga. Program Bimwin adalah sebuah upaya untuk mempersiapkan perkawinan berkualitas dan meletakkan fondasi ketahanan keluarga dalam kerangka pembangunan umat, bangsa dan negara. Wallahu a’lam bisshawab.