Oleh M.Fuad Nasar

Tanggal 26 Juli 2023, Majelis Ulama Indonesia (MUI) genap 48 tahun berkhidmat dalam kehidupan umat, bangsa dan negara. Milad MUI tahun ini mengusung tema “Memperkokoh Persatuan dalam Bingkai Keberaga

M Fuad Nasar, Ketua II BP4 Pusat

man Menuju Indonesia yang Lebih Sejahtera dan Bermartabat.”

Pada Tasyakur Milad ke-48 MUI bertepatan dengan 8 Muharram 1445 H di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta Timur yang dihadiri oleh Wakil Presiden RI Prof. Dr (HC) K.H. Ma’ruf Amin yang juga Ketua Dewan Pertimbangan MUI, dibacakan dan ditandatangani Ittifaq Wathany (Kesepakatan Kebangsaan) sebagai bentuk komitmen MUI dalam rangka senantiasa menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), konsisten dalam menegakkan serta memperjuangkan keadilan rakyat sebagai integritas warga bangsa, siap menyukseskan proses Pemilihan Umum, selalu menjunjung tinggi etika dan akhlak dalam proses Pemilu termasuk menolak politik uang (money politic) dan segala bentuk intimidasi, dan mengajak semua komponen bangsa untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga keutuhan dan kedaulatan NKRI.

Keberagaman selalu menjadi topik dan isu sentral dalam kehidupan kebangsaan kita. Kekuatan Indonesia sejak masa revolusi kemerdekaan sampai sekarang terletak pada kemampuan mengelola kebhinnekaan dalam ikatan persatuan bangsa. Pengalaman sejarah memberi pembelajaran bahwa persatuan yang hakiki takkan terwujud tanpa sikap menghargai perbedaan dan memberi ruang bagi perbedaan itu sendiri dalam koridor kesepakatan bernegara. Persatuan harus dicapai bukan dengan menghilangkan perbedaan atau memusuhi segala yang berbeda. Persatuan sejatinya harus dimaknai sebagai upaya mencari persamaan di antara banyak perbedaan dan bersatu dalam muara kebersamaan.

MUI telah menjadi bagian penting dari etape perjalanan sejarah umat Islam Indonesia dalam mengisi kemerdekaan dan ikhtiar mengawal kemajuan bangsa dengan norma agama, etik, moral dan spiritual. Peranan MUI dalam mengawal persatuan umat dan bangsa tidak dapat dilepaskan dari dinamika sosial politik dan keagamaan. Titik-titik perkisaran kehidupan nasional secara langsung atau tidak langsung berdampak terhadap peran umat Islam dan juga peran MUI.

MUI lahir dalam Musyawarah Nasional I Majelis Ulama seluruh Indonesia tahun 1975 di Jakarta yang dibuka oleh Presiden Soeharto. Sebelum terbentuknya MUI di tingkat pusat telah lebih dahulu berdiri MUI Daerah Tingkat I (Provinsi). Piagam Berdirinya MUI tanggal 17 Rajab 1395 Hijriyah/26 Juli 1975 ditandatangani oleh Ketua Majelis Ulama Daerah Tingkat I seluruh Indonesia (26 provinsi), organisasi Islam tingkat pusat meliputi: Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, AlWasliyah, Mathla’ul Anwar, GUPPI, PTDI, Dewan Masjid, dan AlIttihadiyah, Disrohis Angkatan Darat, Disrohis Angkatan Laut, Disrohis Angkatan Udara, dan Disrohis Polri, serta 13 tokoh ulama perorangan, yaitu Prof. Dr. Hamka, K.H. Qudratullah, K.H. Thohir Rohili, K.H. Sapari, K.H. Abdullah Syafi’i, K.H. Rusli Halil, O.K.H. Abdul Aziz, Muchtar Luthfi El Anshari, A.K. Basuni, Tgk. H. Abdullah Udjong Rimba, Prof. Mr. Kasman Singodimedjo, K.H. Moh Dachlan, dan K.H. Hasan Basri.

Menteri Agama RI periode 1971 – 1978 Prof. Dr. H.A. Mukti Ali dalam kata sambutannya sewaktu penutupan Musyawarah Nasional I Majelis Ulama seluruh Indonesia mengatakan: “Hari ini adalah hari berdirinya Majelis Ulama Indonesia, dan hari ini di tempat ini pulalah telah dikubur untuk selama-lamanya suasana kurang persatuan dan kesatuan di kalangan umat Islam sendiri, dan pada hari ini dan di tempat ini pula telah dikubur untuk selama-lamanya iklim curiga-mencurigai dan saling tidak percaya-mempercayai antara para ulama dan aparat pemerintah. Dan pada hari ini dan di tempat ini pula telah didirikan tugu persatuan dan kesatuan dan ukhuwah islamiyah umat Islam di Indonesia.”

Menurut catatan H.A. Mukti Ali, “Pembentukan Majelis Ulama Indonesia tidak terjadi secara tiba-tiba dan begitu mudah. Berdirinya MUI adalah jasa Hamka terhadap bangsa dan negara. Tanpa Buya, lembaga itu tak akan mampu berdiri. Kehadiran MUI sangat diperlukan di Indonesia.” tulisnya dalam buku Hamka Di Mata Hati Umat (1983).

Sejak awal telah digariskan bahwa yang dikibarkan oleh MUI adalah bendera ukhuwah islamiyah. Karena itu, MUI tidak mengerjakan apa yang telah dilaksanakan oleh organisasi-organisasi Islam yang lain. MUI bukan tandingan bagi ormas-ormas Islam yang sudah ada.

Dalam rumusan Pedoman Dasar MUI yang disahkan tahun 1975 digariskan bahwa fungsi dan tugas MUI adalah untuk memberi fatwa dan nasihat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan umat Islam umumnya sebagai amar makruf nahi mungkar. Fungsi lainnya, memperkuat ukhuwah islamiyah dan memelihara serta meningkatkan suasana kerukunan antar-umat beragama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Selain itu fungsi dan tugas MUI adalah sebagai organisasi yang mewakili umat Islam dalam konsultasi antar-umat beragama, menjadi penghubung antara ulama dan umara (pemerintah) serta menjadi penerjemah timbal-balik antara pemerintah dan umat guna mensukseskan pembangunan bangsa. Keberadaan MUI dan perannya selama ini menjadi antitesa terhadap faham sekularisme yang menilai agama tidak lagi relevan untuk memecahkan permasalahan dunia kontemporer dan menepis anggapan bahwa institusi keagamaan menghambat modernisasi.

Setelah gerakan reformasi tahun 1998 menggulung sistem pemerintahan Orde Baru, maka hampir seluruh tatanan yang dibangun Orde Baru seolah kehilangan legitimasi. Sebagian kalangan menganggap MUI adalah produk politik Orde Baru untuk kepentingan mengkonsolidasikan dukungan umat Islam.

Dalam hubungan ini patut dikenang peran Prof. K.H. Ali Yafie, Ketua Umum MUI yang mengawal MUI di tengah perubahan politik nasional di awal reformasi, melanjutkan masa bakti K.H. Hasan Basri yang wafat tahun 1998. K.H. Ali Yafie adalah figur ulama perekat umat yang konsisten menjaga marwah dan independensi MUI, melanjutkan amanah tiga pimpinan MUI sebelumnya, yakni Buya Hamka, K.H. Sjukri Ghozali dan K.H. Hasan Basri.

Dalam wawancara dengan Harian Umum Kompas 31 Januari 1999, K.H. Ali Yafie menggaris-bawahi peranan MUI sebagai lembaga pengemban amanah umat sebagai berikut, “MUI adalah pelayan umat. MUI harus melayani semuanya. MUI tidak bisa hanya melayani pemerintah saja, atau rakyat saja. Keduanya adalah umat yang harus dilayani. Mengatakan benar kalau pemerintah benar, dan salah kalau pemerintah salah. Begitu juga terhadap yang lain. Dalam mengeluarkan fatwa atau kebijakan, para ulama MUI bersikap netral dan tidak berpihak ke manapun, karena timbangannya Al-Quran dan Hadis.” tuturnya.

Umat Islam Indonesia pernah menikmati masa-masa indahnya persatuan, namun pernah pula mengalami pahitnya perpecahan dan merasakan dampak politik teori belah bambu di masa lampau. Sewaktu terbentuknya MUI, umat Islam Indonesia secara umum belum bersatu sesuai yang diharapkan. Kehadiran MUI tak lepas dari misi untuk merekat kerjasama ulama dengan umara (pemerintah). MUI menjaga kepentingan umat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa menonjolkan kelompok dan golongan.

Dalam konteks kerjasama ulama dan umara dibutuhkan wadah yang kredibel sebagai jembatan aspirasi umat. Saat ini MUI berperan sebagai khadimul ummah (pelayan umat) yakni memberikan bimbingan kepada umat dan shadiqul hukumah atau mitra strategis pemerintah dalam kebijakan yang berorientasi pada kemaslahatan umat dan bangsa. Sesuai tugas dan fungsinya MUI harus steril dari politik partisan dan kepentingan politik praktis yang menjadi ranah organisasi politik atau partai politik.

Selama hampir lima dekade cukup banyak kontribusi MUI kepada umat, bangsa dan negara sesuai tugas dan fungsi ulama. Fatwa dan taushiyah keagamaan dan kemasyarakatan maupun sumbangsih pemikiran para unsur pimpinan MUI dalam merespons berbagai isu aktual, sekalipun tidak mengikat secara formal, tetapi patut diperhatikan.

Secara kelembagaan MUI adalah wadah tempat berhimpunnya ulama, zuama dan cendekiawan muslim dari berbagai ormas Islam. Dalam keseluruhan perannya dewasa ini MUI mengemban harapan umat untuk membina ukhuwah islamiyah dan persatuan bangsa. MUI memiliki obligasi moral untuk menjaga nilai-nilai Islam di tengah kehidupan bangsa Indonesia, termasuk misi penguatan ketahanan keluarga berlandaskan ajaran agama.

Penulis adalah Ketua II BP4 Pusat

Bagikan ke: