Oleh : Dr. H.A. Juraidi Malkan, MA*
بسم الله الرحمن الرحيم
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (٩)
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Al-Jumu’ah: 9).
Hari Jum’at (Jumu’ah, Juma’ah, Jum’ah) yang berarti berkumpul, memiliki kedudukan yang tinggi dalam ajaran Islam dengan sebutan Sayyidul Ayyam wa ‘Idul muslimin, penghulunya hari dan merupakan hari raya bagi kaum muslimin. Sebagai hari raya, Jum’at dijadikan sebagai sarana kembali ‘(ied) mengingat Allah, kontemplasi diri, meninggalkan kesibukan dan aktifitas duniawi yang dalam ayat di atas diwakili oleh al-bai’ (interaksi jual-beli). Itulah yang terbaik menurut Allah SWT, ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ.
Pelaksanaan Shalat Jum’at adalah ibadah mahdhah, tetapi sekaligus memuat ibadah ghairu mahdhah, melalui pesan-pesan, nasehat (washiyat) seorang khatib kepada jama’ah. Oleh karena itu seorang khatib dapat mentranspormasikan gagasannya sesuai dengan situasi “kekinian”.
Pada masa Rasulullah SAW dan para shahabat, materi khutbah seluruhnya menggunakan bahasa Arab, karena bahasa Arab yang menjadi bahasa masyarakat saat itu, sehingga mereka memahami pesan-pesan khatib. Ketika jamaah shalat Jum’at tidak mengerti bahasa Arab, maka conten / isi khutbah tentu lebih utama menggunakan bahasa masyarakat (bi lisani qaumihi) agar mereka memahami pesan nasehat yang disampaikan untuk mereka amalkan sehingga bermanfaat, dengan tetap memenuhi syarat dan rukun khutbah.
Maha Guru di bidang ilmu Fiqh, Prof. Dr. KH. Ibrahim Husen, LML Rektor pertama PTIQ Jakarta pernah menerbitkan buku pada tahun 1940 yang berjudul “Sahkah Khutbah dengan Bahasa ‘Ajam (selain bahasa Arab)? Dalam buku tersebut dikaji pandangan para ulama tentang sah atau tidaknya khutbah disampaikan menggunakan selain bahasa Arab. Pada waktu itu pendapat beliau berkhutbah selain dengan bahasa Arab adalah tidak sah. Khutbah harus menggunakan bahasa Arab, ini adalah pendapat Syafi’iyyah Mutaakhirin. Beberapa masjid di pinggiran kota Jakarta sampai saat masih ada khutbah Jum’at yang menggunakan bahasa Arab tanpa diterjemahkan.
Khutbah dengan menggunakan bahasa Arab di Indonesia yang kebanyakan tidak mengerti bahasa Arab tentu tidak tercapai tujuannya, karena mereka tidak bisa memahami apa yang disampaikan khatib. Padahal khutbah itu adalah penyampaian nasehat/pesan keagamaan dari khatib kepada jamaah.
Ulama lain berpendapat bahwa rukun khutbah harus disampaikan dengan bahasa Arab. Namun terjemahannya atau penjelasannya bisa disampaikan dengan bahasa yang bisa dipahami oleh jamaah.
Dengan bertambahnya ilmu terjadilah perubahan ijtihad beliau (Prof. Dr. KH. Ibrahim Husen, LML) yang tadinya menyatakan tidak sah khutbah menggunakan bahasa selain bahasa Arab, menjadi sah dengan diterjemahkan atau penjelasannya memakai selain bahasa Arab, dengan catatan untuk rukun-rukunnya tetap menggunakan bahasa Arab.
Adapun syarat, rukun dan sunnah khutbah adalah sebagai berikut:
a. Syarat-syarat khutbah Jum’at adalah sebagai berikut :
-
Khatib harus laki-laki, baligh, berakal, suci dari hadats besar dan kecil, menutup aurat, dan bisa membedakan antara sunnah dan rukun khutbah.
-
Khutbah harus diperdengarkan dan didengar oleh jamaah Jum’at yang mensahkan Jum’at, yaitu; setiap muslim yang baligh, berakal, merdeka, berjenis kelamin laki-laki dan bertempat tinggal tetap (muqim mustauthin).
-
Khutbah harus berbahasa Arab, kecuali isi/pesan khutbah.
-
Khutbah harus dilakukan dengan tertib (berurutan) dan berkesinambungan (muwâlah).
b. Rukun-rukun khutbah Jum’at adalah sebagai berikut :
-
Membaca hamdalah dan syahadah di kedua khutbah.
-
Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW di kedua khutbah.
-
Menyampaikan wasiat agar bertakwa kepada Allah di kedua khutbah.
-
Membaca salah satu ayat Al-Qur’an di salah satu khutbah.
-
Memohon ampunan kepada Allah melalui doa-doa dalam khutbah kedua.
c. Sunnah-sunnah khutbah Jum’at adalah sebagai berikut:
-
Khatib naik ke atas mimbar ketika masuk waktu shalat Jum’at dan mengucapkan salam kepada jamaah.
-
Khatib duduk sejenak sebelum memulai khutbah pertama, dan di antara dua khutbah.
-
Khatib membaca ayat Al-Qur’an di khutbah pertama.
-
Khatib/Imam membaca surat Al-A’la di raka’at pertama shalat Jum’at dan surat Al-Ghasyiyah di raka’at kedua shalat Jum’at.
Dalam memilih tema khutbah, penting untuk diperhatikan pada situasi dan kondisi yang bagaimana khutbah akan disampaikan, seperti saat momentum hari kemerdekaan, atau hari-hari besar Islam. Sebaiknya Tema khutbah juga tidak saja mengajak kepada keshalihan ritual, tapi juga keshalehan sosial seperti; Optimalisasi ZIS dan Wakaf, Cinta Tanah Air, Peningkatan Persatuan dan Kesatuan, Kepemimpinan Rasulullah, Kebersihan dalam Islam, Perbaikan Gizi dan Stunting, dll.
Beberapa negara mempunyai kebijakan yang berbeda terhadap para khatib. Pada negara-negara Islam seperti Saudi Arabia, Malaysia, dan Brunei Darussalam, umumnya menggunakan tema khutbah yang bersifat “top down”. Naskah khutbah diterbitkan oleh pihak kerajaan untuk disampaikan oleh para khatib yang diangkat pemerintah.
Uni Emirat Arab (UEA) misalnya, menurut Kepala Badan Urusan Agama Islam dan Wakaf UEA, Syekh Muhammad Matar Salim Bin Abid Alkaabi (2019) negaranya menerapkan kebijakan terhadap para khatib dan penceramah ada 3 tipologi:
Pertama, khatib dan penceramah diberi kebebasan untuk berkhutbah dan berceramah tanpa teks. Hal ini berlaku bagi para ulama besar, masyayikh yang berintegritas tinggi, dan tidak diragukan lagi keulamaannya, dan juga sudah teruji pengabdiannya kepada pemerintah dan negara;
Kedua, khatib dan penceramah diberikan kisi-kisi untuk selanjutnya dikembangkan oleh yang bersangkutan saat berceramah. Hal ini berlaku bagi para ulama dan cendikiawan kategori menengah yang masih memerlukan pengawasan dan pembinaan dari pihak otoritas keagamaan, dan pemerintah UEA;
Ketiga, khatib dan penceramah yang cuma boleh membacakan naskah/teks yang disiapkan dan telah ditashih oleh General Authority of Islamic Affairs and Awqaf (Kementerian Urusan Agama Islam dan Wakaf). Hal ini berlaku bagi para khatib dan penceramah kategori pemula, termasuk para imam yang didatangkan dari negara lain untuk ditugaskan di masjid-masjid dalam pemerintahan UEA, termasuk yang direkrut dari Indonesia.
Berbeda dengan di Indonesia yang tidak memiliki anggaran mengangkat dan menggaji para khatib, maka kebijakan yang bisa dilakukan hanya sebatas membuat himbauan/seruan dan menerbitkan regulasi.
Pada era Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin (LHS) telah diterbitkan regulasi atau ketentuan berupa 9 (sembilan) himbauan/seruan Menteri Agama untuk setiap ceramah agama di rumah ibadah sebagai berikut:
-
Disampaikan oleh penceramah yang memiliki pemahaman dan komitmen pada tujuan utama diturunkannya agama, yakni melindungi harkat dan martabat kemanusiaan, serta menjaga kelangsungan hidup dan perdamaian umat manusia.
-
Disampaikan berdasarkan pengetahuan keagamaan yang memadai dan bersumber dari ajaran pokok agama.
-
Disampaikan dalam kalimat yang baik dan santun dalam ukuran kepatutan dan kepantasan, terbebas dari umpatan, makian, maupun ujaran kebencian yang dilarang oleh agama mana pun.
-
Bernuansa mendidik dan berisi materi pencerahan yang meliputi pencerahan spiritual, intelektual, emosional, dan multikultural. Materi diutamakan berupa nasihat, motivasi dan pengetahuan yang mengarah kepada kebaikan, peningkatan kapasitas diri, pemberdayaan umat, penyempurnaan akhlak, peningkatan kualitas ibadah, pelestarian lingkungan, persatuan bangsa, serta kesejahteraan dan keadilan sosial.
-
Materi yang disampaikan tidak bertentangan dengan 4 (empat) konsensus Bangsa Indonesia, yaitu: Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika.
-
Materi yang disampaikan tidak mempertentangkan unsur SARA (suku, agama, ras, antar-golongan) yang dapat menimbulkan konflik, mengganggu kerukunan ataupun merusak ikatan bangsa.
-
Materi yang disampaikan tidak bermuatan penghinaan, penodaan, dan/atau pelecehan terhadap pandangan, keyakinan dan praktek ibadah antar/intern umat beragama, serta tidak mengandung provokasi untuk melakukan tindakan diskriminatif, intimidatif, anarkis, dan destruktif.
-
Materi yang disampaikan tidak bermuatan kampanye politik praktis dan/atau promosi bisnis.
-
Tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku terkait dengan penyiaran keagamaan dan penggunaan rumah ibadah.
Seorang khatib idealnya juga menjadi imam shalat (wal-imamu yakhtub), namun terkadang karena ‘sesuatu hal’ khatib mempersilahkan adanya imam shalat. Oleh karena itu perlu ditetapkan kompetensi seorang imam. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam telah menyusun dan menerbitkan Standarisasi Imam Tetap Masjid melalui SK Dirjen Bimas Islam Nomor 582 Tahun 2017 yang isinya sebagai berikut:
1. Pengertian
Imam adalah seseorang yang memiliki kemampuan memimpin shalat, berkhutbah, dan membina umat, yang diangkat dan tetapkan oleh pemerintah atau masyarakat.
Standar Imam Tetap Masjid adalah batasan atau parameter kualifikasi kompetensi minimal seorang imam masjid sesuai tipologinya (sesuai KMA Nomor 394/2004 tentang Penetapan Status Masjid) yaitu; Masjid Negara, Masjid Raya (tingkat provinsi), Masjid Agung (tingkat kabupaten/kota), Masjid Besar (tingkat kecamatan), Masjid Jami’ (tingkat desa/kelurahan), Masjid Bersejarah, dan Masjid di tempat publik.
2. Tujuan
-
Agar masjid-masjid di Indonesia memiliki imam tetap yang mempunyai kompetensi tertentu dalam rangka meningkatkan kualitas ibadah dan pembinaan terhadap umat.
-
Memberikan pedoman bagi masjid-masjid di Indonesia dalam memilih dan menentukankan imam tetap.
3. Kompetensi Umum Imam
Secara umum persyaratan menjadi imam sebagaimana disebutkan dalam Hadits Nabi Muhammad SAW, di antaranya sbb :
يؤم القوم أقرأهم لكتاب الله فان كانوا فى القراءة سواءً فاعلمهم بالسنة , فان كانوا فى السنة سواءًفاقدمهم هجرةً , فان كانوا فى الهجرة سواءً فاقدمهم اسلاما , ولا يؤم الرجل فى سلطانه و لا يقعد فى بيته على تكرُمَتِهِ الا باذنه
Artinya: Yang menjadi imam suatu kaum adalah yang paling menguasai bacaan Kitabullah (Al-Qur’an) di antara mereka, dan jika pada mereka mempunyai kualitas yang sama, maka diutamakan yang menguasai Al-Hadits, jika dalam hal ini sama, maka diutamakan yang lerbih dahulu hijrahnya, dan jika mereka sama maka yang lebih dahulu masuk Islam, dan seorang imam tidak dibenarkan menjadi imam di wilayah kekuasaan imam yang lain, dan tidak boleh menjadi imam di rumah orang lain kecuali melalui izinnya.
Hadist di atas shahih adanya, namun pengertiannya masih diperdebatkan. Imam Abu Hanifah mengambil makna lahiriyahnya (aqra’u / lebih qari), sementara ada fuqaha yang memahami pengertian aqra’u sebagai afqah, alasan mereka bahwa keperluan terhadap afqah lebih dibutuhkan untuk menduduki imam dibanding aqra’u.
Syarat utama menjadi Imam Shalat seperti disebutkan dalam kitab “Fiqh Al-Islam karya Syaikh Wahbah Al-Zuhaili antara lain : Islam, berakal, baligh, laki-laki, suci dari hadats, bagus bacaannya, bukan makmum, sehat dan lidahnya fasih dapat mengucapkan lafal Arab dengan tepat dan jelas.
Dalam Peraturan Dirjen Bimas Islam Nomor 582 Tahun 2017 ditegaskan standar umum seorang imam adalah :
-
Memiliki pemahaman fiqih shalat;
-
Memiliki kemampuan membaca Al-Qur’an dengan tartil, dan tahsin;
-
Memiliki kemampuan memimpin shalat, dzikir, dan doa;
-
Memiliki kemampuan berkhutbah;
-
Memiliki kemampuan untuk membimbing umat;
-
Memahami problematika umat;
-
Memiliki wawasan kebangsaan.
Adapun kompetensi imam berdasarkan tipologi masjid adalah sebagai berikut:
1. Kompetensi Imam Masjid Negara
-
Pendidikan minimal S1;
-
Memiliki hafalan Al-Qur’an 30 Juz;
-
Memilki keahlian membaca Al-Qur’an dengan merdu;
-
Memiliki pemahaman tentang fiqih, hadits, dan tafsir;
-
Mampu berkomunikasi dengan bahasa Arab, dan salah satu bahasa asing lainnya.
2. Kompetensi Imam Masjid Nasional/Raya
-
Pendidikan minimal S1 / sederajat;
-
Memiliki hafalan Al-Qur’an 20 Juz;
-
Memilki keahlian membaca Al-Qur’an dengan merdu;
-
Memiliki pemahaman tentang fiqih, hadits, dan tafsir;
-
Mampu berkomunikasi dengan bahasa Arab, dan salah satu bahasa asing lainnya.
3. Kompetensi Imam Masjid Agung
-
Pendidikan minimal S1 / sederajat;
-
Memiliki hafalan Al-Qur’an 2 Juz;
-
Memilki keahlian membaca Al-Qur’an dengan merdu;
-
Memiliki pemahaman tentang fiqih, hadits, dan tafsir.
4. Kompetensi Imam Masjid Besar
-
Pendidikan minimal S1 / sederajat;
-
Memiliki hafalan Al-Qur’an Juz 30;
-
Memilki keahlian membaca Al-Qur’an dengan merdu;
-
Memiliki pemahaman tentang fiqih, hadits, dan tafsir.
5. Kompetensi Imam Masjid Jami’
-
Pendidikan minimal SMA/MA/PP/sederajat;
-
Memiliki hafalan Al-Qur’an Juz 30;
-
Memilki keahlian membaca Al-Qur’an dengan merdu;
-
Memiliki pemahaman tentang fiqih, hadits, dan tafsir.
6. Kompetensi Imam Masjid Bersejarah
-
Pendidikan minimal SMA/PP/sederajat;
-
Memiliki hafalan Al-Qur’an Juz 30;
-
Memilki keahlian membaca Al-Qur’an dengan merdu;
-
Memiliki pemahaman tentang fiqih, hadits, dan tafsir;
-
Memahami sejarah berdirinya masjid.
7. Kompetensi Imam Masjid di tempat publik.
-
Pendidikan minimal SMA/MA/PP/sederajat;
-
Memiliki hafalan Al-Qur’an Juz 30;
-
Memilki keahlian membaca Al-Qur’an dengan merdu;
-
Memiliki pemahaman tentang fiqih, hadits, dan tafsir.
Dalam rangka mengembangkan “Cinta Tanah Air”, khutbah jum’at sebagai sarana transpormasi dan membangun peradaban yang sangat strategis, perlu menjadi pemikiran bersama antara ormas Islam, MUI, dan Kementerian Agama untuk memberikan muatan kearifan lokal (local wisdom) terhadap pelaksanaan khutbah jum’at, misalnya setiap khatib harus menyisipkan do’a di penghujung khutbahnya untuk kebaikan dan kemajuan bangsa dan negara Indonesia. Alangkah baiknya jika redaksinya pun disusun bersama, dan dibacakan oleh setiap khatib Jum’at di seluruh Indonesia.
—-
*Ketua IPIM (Ittihad Persaudaraan Imam Masjid) Indonesia, Dosen UIN dan Universitas PTIQ Jakarta.