Oleh: Dr. H. Anwar Saadi, MA. – Sekretaris Umum BP4 Pusat

Pernikahan yang selanjutnya disebut dengan perkawinan  merupakan suatu ikatan suci yang memberikan kepastian dan kehalalan hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami dan istri dalam sebuah keluarga.

Selain itu perkawinan dilakukan untuk terpenuhinya kepentingan   kedua pasangan baik secara biologis, sosiologis, maupun idiologis untuk membentuk komitmen bersama membangun keluarga atau rumah tangga dengan tujuan mendapatkan kepuasan, ketenangan serta kebahagiaan.

Perkawinan merupakan bagian dari sunnatullāh yang diciptakan Tuhan dalam penciptaan alam dan merupakan jalan yang dipilihkan Tuhan bagi manusia untuk berkembang biak serta melanjutkan kehidupan di dunia. Perkawinan ditujukan untuk melanjutkan kehidupan umat manusia di masa yang akan datang.

Ketenangan dan kebahagiaan yang diinginkan dalam perkawinan adalah kebahagiaan lahiriah dan batiniah yakni keluarga  sakīnah mawaddah warahmah. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,  disebutkan bahwa:  perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita  sebagai suami istri dengan tujuan  membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal  berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan komitmen bersama untuk saling mengerti dan memahami kepentingan satu sama lain dan berkomitmen melaksanakan hak dan kewajiban sebagai suami dan istri.

Sikap mengasihi dan menyayangi pasangan suami istri serta memberikan perhatian terhadap hak-hak pasangan merupakan bagian yang menjadi perekat hubungan perkawinan sehingga tercipta sebuah keluarga yang bahagia lahir dan batin.

Al-Qur’an memberikan petunjuk bagi pasangan yang akan menikah dan saat sudah menjadi pasangan suami istri untuk melakukan hal-hal yang fundamental untuk mencapai kebahagiaan perkawinan:

Pertama melakukan orientasi dan pengenalan diri pribadi pasangannya agar masing-masing pihak  memahami pasangan secara psikologis, sosiologis, maupun kultural.

Mengenal pasangan secara utuh dapat meminimalisir hambatan hubungan keduanya dan  merupakan kunci dari berhasilnya suatu interaksi dan komunikasi suami istri di dalam rumah tangga,  sehingga berbagai persoalan yang mungkin datang dapat dihadapi dan ditangani bersama pasangan dengan baik. Mengenal pasangan sebagai bagian penting dari sebuah keluarga merupakan konsep awal pembentukan keluarga, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an QS.4, An-Nisâ: 19

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَرِثُوا النِّسَاۤءَ كَرْهًا ۗ وَلَا تَعْضُلُوْهُنَّ لِتَذْهَبُوْا بِبَعْضِ مَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اِلَّآ اَنْ يَّأْتِيْنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ ۚ فَاِنْ كَرِهْتُمُوْهُنَّ فَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّيَجْعَلَ اللّٰهُ فِيْهِ خَيْرًا كَثِيْرًا

Wahai orang-orang yang beriman tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaulah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya

Kalimat  وعاشروهن بالمعروفpada ayat di atas memiliki beberapa kandungan makna sesuai konteksnya. Imam Syafi’i menyebut dua syarat yang harus dipenuhi dalam perkawinan yaitu memenuhi hak kepada pasangan dan memperindah komunikasi.

Sementara itu Ath-Thabari menafsirkan kalimat tersebut dengan kalimat  خالطواهن dan خالقواهن yang berarti:  pergaulilah dengan patut. Sedangkan menurut Ibnu Katsir  kalimat itu bermakna baguskanlah perkataan dan prilaku terhadap pasanganmu.

Untuk dapat berkomunikasi dan berprilaku baik dengan pasangan nikah diperlukan kemampuan mengenal pasangan. Sesuai dengan akar kata معروف yaitu عرف يعرف yang berarti “mengetahui-mengenal-menyadari”. Suami diperintahkan Allah untuk berprilaku ma’ruf kepada istrinya, seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an, QS.4, an-Nisâ ayat 19: “wa-â’syirûhunna bil ma’rûf” yang berarti “dan bergaulah dengan mereka menurut cara yang patut”.

Kata “ma’rûf” pada ayat tersebut dapat dimaknai sebagai “al-ijmâl fil qaûl wa-an-nafaqah wal mabît yang berarti santun dalam berbicara, memberi nafkah dan menyiapkan tempat tinggal atau kediaman untuk keduanya.

Mempergauli dan memperlakukan istri dengan baik memerlukan bekal kemapanan  secara psikologis, yakni  potensi karakter dan prilaku ahlak mulia dan pengendalian diri bersiap menghadapi pasangan dengan segala potensi dan keunikan yang dimiliki serta mengembangkan sikap menghargai dan menghormati serta memuliakan  pasangan.

Bagi suami, diperlukan kemampuan melakukan pemenuhan nafkah dan tanggung jawab baik secara materil maupun spiritual. Selanjutnya, suami dapat memimpin jalannya kehidupan rumah tangga secara baik dengan bekal mental dan  keimanan yang prima agar dapat  mengarahkan keluarga dengan norma dan nilai kebaikan yang dibimbing agama.

Bagi istri, meskipun tidak memiliki kewajiban mencari nafkah keluarga, idealnya ia dapat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari gerak langkah yang dilakukan suami dalam membangun sebuah keluarga.

Istri menjadi kawan dalam canda dan menjadi mitra strategis dalam membangun karir dan keberhasilan keluarga. Kesuksesan terbesar sebuah keluarga dibangun atas dasar komitmen dan keinginan bersama di antara pasangan suami istri.

Kedua, mampu mengelola konflik dalam perkawinan. Kemampuan mengelola konflik sangat diperlukan, karena  tidak semua perkawinan yang dilakukan oleh pasangan nikah berjalan mulus tanpa ada gangguan, akan tetapi setiap pasangan yang menjalani kehidupan rumah tangga sangat mungkin akan berhadapan dengan persoalan yang berpotensi menjadi konflik.

Hal itu sesungguhnya bukan merupakan ancaman bagi sebuah keluarga, tetapi lebih sebagai sebuah tantangan bagaimana sebuah keluarga mengatasi persoalan tersebut. Menurut Dale Carnegie, banyak yang melihat konflik sebagai pengalaman yang kurang positif. Jadi kita cenderung tidak melihat konflik sebagai peluang. Kita cenderung melihatnya sebagai pencipta hambatan untuk peluang.

Jika kemungkinan konflik tidak dapat dihindari, maka yang harus dilakukan adalah bersiap menghadapi konflik dan menyiapkan cara yang cemerlang untuk mengatasinya. Menurut Dale Carneigie alasan lain dari meningkatnya ketegangan adalah banyak orang tidak tahu cara merespon secara efektif  ketidaksepakatan.

Sumber ketegangan tidak selalu merupakan kesalahan pihak lain kalau konflik tetap tidak terpecahkan. Seringkali, kesalahan terletak di dalam diri sendiri. Keterampilan mendengarkan kita sering kali merupakan hal pertama yang hilang ketika kita ada dalam ketidaksepakatan. Karena semua ingin berbicara tanpa ada kesadaran ingin mendengarkan satu pihak yang sedang berbicara.

Keberhasilan sebuah keluarga bukanlah karena ia berhasil menghindari konflik keluarga, akan tetapi keberhasilan itu dilihat dari kemampuan mengelola komunikasi antara semua anggota keluarga sehingga meminimalisir potensi terjadinya konflik.

Dan jika konflik itu terjadi dan tak terhindarkan, maka ia mampu mengelola konflik yang ada sehingga berubah menjadi suatu kekuatan yang dapat memperkuat ketahanan dan kebahagiaan keluarga. ***

Bagikan ke: