Oleh JURAIDI MALKAN – Dosen UIN & PTIQ Jakarta, Ketua BP Pusat
Lahirnya UU Nomor I Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan karya besar bangsa Indonesia dalam upaya mengatur pelaksanaan perkawinan bagi masyarakat di Indonesia yang sangat heterogin dari latar belakang etnis, golongan, budaya dan agama, namun bisa diwadahi oleh UU ini.
Sebelum disahannya UU Nomor I Tahun 1974, berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warga negara dan berbagai daerah. Ada yang berlandaskan kepada hukum agama yang implementasinya berbeda-beda, ada yang berdasarkan kepada hukum adat yang beraneka rupa, dan ada yang berdasarkan kepada KUHP, dan sebagainya.
UU Nomor I Tahun 1974 ini bisa diterima semua pihak karena memuat prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945, di lain pihak menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat, dan lebih daripada itu Undang-Undang ini menampung di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan hukum agama dan kepercayaannya itu, sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal-pasalnya, di antaranya bahwa perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, dan tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagi umat Islam, pelaksanaan UU Nomor I Tahun 1974 tentang Perkawinan, dipertegas dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI). Istilah kompilasi berasal dari bahasa latin ‘compilare’ yang berarti mengumpulkan bersama-sama, seperti mengumpulkan peraturan yang masih tersebar.
Dalam bahasa Inggris disebut sebagai ‘compilation’ dan dalam bahasa Belanda adalah ‘compilatie.’ Dalam pengertian hukum, kompilasi adalah sebuah buku hukum atau buku kumpulan yang memuat uraian atau bahan-bahan hukum tertentu, pendapat hukum atau juga aturan hukum.
Tujuan dari dibentuknya KHI di Indonesia adalah menyiapkan pedoman yang seragam (unifikasi) bagi hakim Pengadilan Agama, sehingga, tidak terjadi lagi simpang siur dalam putusan hakim. Tanpa adanya KHI, para hakim di Pengadilan Agama dalam mengadili perkara berpedoman kepada referensi kitab fiqih yang dibuat oleh para fuqaha (ahli hukum) terdahulu berdasarkan situasi dan kondisinya di mana fuqaha itu berada.
Akibatnya, hakim yang mengadili perkara yang sama sering kali putusannya berbeda. Hal tersebut dapat membingungkan para pencari keadilan dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Loka Karya para Alim Ulama Indonesia yang diadakan di Jakarta pada tanggal 2 sampai 5 Februari 1989 telah menerima baik tiga rancangan buku Kompilasi Hukm Islam (KHI), yaitu Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum Perwakafan.
Sebagai salah satu hasil kesepakatan para Alim Ulama Indonesia, KHI bisa disebut sebagai konsensus (ijma’) ulama Indonesia. Produk hukum Kompilasi Hukum Islam dituangkan dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 yang ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun 1991.
Tulisan ini membatasi pembahasan di bidang perkawinan yang sering menjadi permasalahan di tengah-tengah masyarakat, di antaranya:
Pernikahan Dini
idak bisa dipungkiri bahwa usia menentukan kedewasaan seseorang. Pernikahan yang dilakukan pada usia dini banyak mendatangkan kemudharatan dari aspek kesehatan reproduksi kedua pasangan, pola pengasuhan anak yang dilahirkan, maupun pengelolaan manajemen rumah tangga, sehingga sering berujung kepada perceraian.
Perceraian yang terjadi di usia dini pasti akan menimbulkan persoalan baru bagi yang bersangkutan dan bagi masyarakat.
Oleh karena itu perlu menetapkan ketentuan usia bagi seseorang untuk bisa menikah sebagai upaya untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah yang menjadi tujuan dari perkawinan.
Ketentuan batas usia minimal untuk bisa menikah juga dilakukan oleh berbagai negara di dunia. Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), rata-rata usia pernikahan di dunia adalah sekitar 28 tahun untuk pria dan 26 tahun untuk wanita.
Pada Pasal 7 UU Nomor I Tahun 1974 diatur bahwa batas minimal usia laki-laki untuk melakukan perkawinan adalah 19 tahun. Sementara, batas minimal usia perempuan 16 tahun.
Namun, ketentuan itu diubah melalui UU Nomor 16 Tahun 2019. UU tersebut mengatur batas usia minimal laki-laki dan perempuan untuk melakukan pernikahan adalah 19 tahun. “Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun”.
Bagi Calon mempelai yang belum mencapai batas usia minimal harus mendapatkan izin/dispensasi dari Pengadilan Agama.
Pernikahan di Bawah Tangan (Sirri)
Nikah siri yang diperbolehkan dalam hukum Islam adalah nikah yang syarat dan rukun nikahnya telah terpenuhi yaitu: wali nikah, dua orang saksi yang adil, ijab dan kabul. Sementara nikah siri yang dilakukan dalam pengertian tidak adanya wali nikah adalah tidak sah.
Menurut UU Nomor I Tahun 1974 maupun KHI, perkawinan di bawah tangan tidak memiliki kekuatan hukum. Perkawinan di bawah tangan tidak memiliki kutipan Akta Nikah atau Akta Perkawinan.
Akibat hukum dari Perkawinan di bawah tangan berdasarkan UU Nomor 1 tahun 1974 dan PP Nomor 9 Tahun 1975, yaitu hak-hak yang timbul dari perkawinan tidak dapat dilindungi oleh hukum. Pada pasal 2 ayat (2) UU Nomor I Tahun 1974 menegaskan bahwa; “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Poligami
Menurut Direktur Rumah Fiqih Indonesia, Ustadz Ahmat Sarwat dalam Rubrik Konsultasi Fiqih, sebagaimana dilansir dari laman rumahfiqih menjelaskan secara hukum hitam putih, pada dasarnya seorang laki-laki tidak perlu mendapat izin dari siapa pun untuk boleh menikah.
Baik untuk menikah yang pertama, kedua ketiga, dan keempat. Pendapat semacam ini tentu banyak yang mengikutinya, terutama kaum Adam alias bapak-bapak, dan pasti ditentang oleh kaum Hawa alias ibu-ibu dan kelompok feminisme.
Berbeda dengan KHI, dalam Pasal 56 ayat (1) : Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama. Agar dapat melakukan poligami secara sah menurut hukum di Indonesia, maka poligami tersebut harus memenuhi syarat sebagai berikut:
Suami wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama di daerah tempat tinggalnya, dengan syarat ada persetujuan dari istri/istri-istri, dengan catatan persetujuan ini tidak diperlukan jika:
1). istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian’;
2). tidak ada kabar dari istri selama minimal 2 tahun; atau
3). karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.
Adanya kepastian suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka;
Adanya jaminan suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak;
Pengadilan hanya memberikan izin poligami jika:
1). Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
2). Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
3). Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Talak/Perceraian
Ada perbedaan yang sangat signifikan antara kajian fiqih dengan KHI terkait pelaksanaan talak atau perceraian. Dalam kajian fiqih kitab kuning, sebagaimana dinyatakan al-Mahalli dalam kitabnya Syarh Minhaj at-Thalibin bahwa talak adalah “Hillu qoyid an-nikahi bi lafdz thalaq wa nahwihi”, pelepasan akad nikah dengan lafal talak atau yang semakna dengan lafal itu.
Talak adalah hak mutlak suami. Talak dianggap sah apabila dijatuhkan secara sadar oleh suami yang berakal dan baligh. Ketika talak sudah diucapkan oleh seorang suami terhadap isterinya, maka seketika itu jatuhlah talaknya. Maka suami isteri itu menjadi bercerai. Tak ada keharusan untuk berurusan dengan Pengadilan.
Perceraian secara kitab kuning ini tidak mengharuskan ada bukti tertulisnya. Suami isteri itu berpisah begitu saja. Oleh karena itu di kalangan Syiah Imamiyah berpendapat bahwa talak itu harus diucapkan di depan 2 orang saksi, kalau talak tidak diucapkan di depan 2 orang saksi, talaknya tidak sah.
Berbeda dengan Jumhur ulama, berpendapat, karena talak ini hak suami, maka kapan saja talak itu dijatuhkan hukumnya sah, baik ada saksi ataupun tidak ada saksi.
Sedangkan menurut KHI pada Pasal 115 dinyatakan bahwa “perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.
Jadi, seorang suami yang akan mentalak isterinya harus meminta izin ke PA, bahwa ia akan mengikrarkan talaknya terhadap isterinya. Talak bukan menjadi hak suami mutlak, tetapi sebagian sudah diambil oleh negara, dalam hal ini oleh Pengadilan Agama (PA).
Suami yang akan mentalak isterinya harus mengajukan permohonan ikrar talak kepada PA disertai dengan alasannya mengapa ia akan menjatuhkan talak terhadap isterinya.
Setelah melalui proses persidangan, kalau permohonannya dikabulkan oleh PA, maka ia akan dipanggil untuk menghadap di persidangan guna mengucapkan ikrar talak terhadap isterinya itu.
Kalau permohonannya ditolak oleh PA, maka ia tidak dapat mengucapkan ikrar talaknya terhadap isterinya. Kalau permohonannya ditolak oleh PA ia berhak mengajukan banding di Pengadilan Tinggi Agama (PTA) sampai kasasi di Mahkamah Agung.
Bahkan menurut PERMA (Peraturan Mahkamah Agung) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Sengketa perkawinan termasuk perkara yang wajib dimediasi sebelum hakim melanjutkan persidangan berikutnya.
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator. Pelaksanaan mediasi bisa oleh hakim pengadilan, dan bisa juga oleh mediator dari luar pengadilan yang bersertifikat.
Hal ini harus dipahami bahwa perceraian jangan mudah dilakukan, kalimat talak tidak boleh diucapkan sembarangan, jika ada masalah suami-isteri berdamai itu lebih baik, karena talak atau perceraian adalah sesuatu yang sangat dibenci Allah, meskipun halal/boleh. Abgadhu al-halal ‘inda Allah at-thalaq (al-Hadits).
Negara sudah mengatur sedemikian rupa tentang hukum keluarga termasuk di dalamnya tentang perceraian. UUP (UU Nomor I Tahun 1974 tentang Perkawinan), dalam pasal 39 ayat (1) menyatakan bahwa “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”.
Oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI) bunyi pasal 39 ayat (1) UUP itu disalin persis bunyinya dalam pasal 115. Perceraian, baik atas kehendak suami atau atas kehendak isteri harus dilaksanakan di depan sidang PA.
Tidak ada perceraian di luar sidang PA. Jadi kalau permohonannya ditolak oleh PA, maka suami tidak bisa menjatuhkan talaknya.
Apabila terjadi sebagaimana diuraikan diatas, bahwa dalam suatu perselisihan dan pertengkaran antara suami isteri kemudian suami mengucapkan talak terhadap isterinya, misalnya ku talak engkau, maka menurut fiqih kitab kuning, talaknya sudah jatuh, tetapi kalau menurut fiqih ala Indonesia, yaitu KHI, talaknya tidak jatuh.
Dalam mengikuti aturan agama, secara berurutan, kita wajib taat kepada Allah (al-Qur’an), taat kepada Rasulullah (as-Sunnah) dan taat kepada Pemerintah (Peraturan perundang-undangan).
Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah dalam surat an-Nisa’ ayat 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu…..”
Ketaatan kepada Pemerintah dalam ayat tersebut di atas disejajarkan dengan ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasulullah, selama Pemerintah mengikuti Allah dan Rasul-Nya.
Oleh karena itu sangat penting bagi warga negara, disamping taat kepada Allah dan RasulNya, juga taat kepada aturan Negara. Salah satu aturan Negara yang berlaku bagi ummat Islam adalah UU tentang Perkawinan yang dalam salah satu aturannya mengatur tentang perceraian, yang harus dilakukan di depan sidang PA.
Dalam hal ini talak tidak boleh dijatuhkan di sembarang tempat, tetapi harus dijatuhkan di depan persidangan PA. Kalau diucapkan di luar persidangan PA, berarti tidak jatuh.
Apakah pendapat semacam ini tidak bertentangan dengan fiqih? Tentu saja jawabnya tidak bertentangan. Sebab para Ulama dan Kyai yang tergabung dalam DPR sewaktu merumuskan UU Perkawinan telah berijtihad sedemikian rupa, sehingga UU Perkawinan, bagi ummat Islam tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Para ulama dan Kyai telah memasukkan hukum Islam dalam bidang perkawinan untuk ummat Islam Indonesia ke hukum yang bersifat qadha’i dalam kontek perundang-undangan di negara Indonesia.
Dengan adanya ketentuan yang mengatur bahwa talak harus diucapkaan di depan sidang PA, maka talak yang diucapkan oleh suami di luar sidang adalah tidak jatuh.
Dengan berlakunya ketentuan UU tentang Perkawinan tersebut seharusnya tidak ada lagi pertentangan di tengah-tengah ummat Islam bahwa talak di luar sidang PA adalah tidak jatuh.
Keberlakuan pendapat ini adalah didasarkan pada kaidah fiqih yang berbunyi: “hukmul hakim ilzamun wa yarfa’ul khilaf, – peraturan perudang-undangan yang dibuat Negara bersifat mengikat dan menghilangkan perbedaan pendapat”.
Dengan demikian karena sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan bahwa talak harus diucapkan di depan sidang PA, maka perbedaan pendapat di tengah masyarakat tentang jatuh tidaknya talak di luar sidang harus berakhir.
Bahwa talak yang diucapkan di luar sidang PA tidaklah jatuh. Namun demikian, suami isteri tidak dibenarkan mempermainkan kata-kata talak dan cerai, karena sangat berdampak negatif bagi keharmonisan rumah tangga. Allahu a’lam.