Oleh DR. H. A. JURAIDI MALKAN, MA – Dosen UIN dan PTIQ

Pasca keruntuhan Uni Soviet mata dunia tertuju kepada Islam sebagai ancaman. Muncul istilah fundamentalisme, terorisme, ekstremisme dan radikalisme yang disematkan kepada Islam dan umat Islam.

Peristiwa 11/9 tahun 2001 yang meruntuhkan menara kembar World Trade Center (WTC) Di AS berujung kepada sikap Islamofobia, dan terorisme dialamatkan kepada Islam. Di Indonesia peristiwa Bom Bali (2002 & 2005) menjadi momentum, “memojokkan” Islam.

“Fundamentalisme Islam adalah ancaman bagi Barat sebagaimana dulu komunisme” (Willy Claes, Sekjen NATO tahun 1994-1995).

Beberapa upaya menghadirkan ajaran Islam yang penuh kedamaian dan menghargai keragaman untuk mewujudkan perdamaian dunia yang lebih berkeadilan, di antaranya: Yordania: Amman Messages (Risâlat `Ammân) (sejak tahun 2004);

Saudi Arabia: membangun ketahanan pemikiran keagamaan (Al-Amn al-Fikriy) melalui konsep al-Wasathiyyah;

Mesir dan Al-Azhar: Al-Wasathiyyah dan upaya meluruskan kesalahpahaman terhadap teks-teks keagamaan (tashîh al-mafâhîm al-maglûthah);

Kuwait: Al-Markaz al-Alamiy lil Wasathiyyah; Malaysia dengan Wasathiyyah di era Najib, dan Islam Rahmatan lil Alamin di era Mahathir; Abu Dhabi dengan Watsîqat al-Ukhuwwah al-Insâniyyah (Dokumen Persaudaraan Kemanusiaan) (4 Februari 2019): “Musuh bersama kita saat ini sesungguhnya adalah ekstremisme akut (fanatic extremism), hasrat saling memusnahkan (destruction), perang (war), intoleransi (intolerance), serta rasa benci (hateful attitudes) di antara sesama umat manusia, yang semuanya mengatasnamakan agama”.

MENGARUSUTAMAKAN MODERASI BERAGAMAM

Moderasi Beragama adalah cara pandang, sikap dan perilaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak Adil, Toleran, Berimbang, dan Tidak Ekstrem dalam beragama.

Norma umum setiap individu pemeluk agama, apapun etnis, budaya, agama, dan pilihan politiknya harus mau saling mendengarkan satu sama lain, serta saling belajar melatih kemampuan mengelola dan mengatasi perbedaan pemahaman keagamaan di antara mereka.

Kata ‘moderasi’ dari Bahasa Latin moderâtio, yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Kata itu juga berarti “penguasaan diri” (dari sikap sangat kelebihan dan kekurangan).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ‘moderasi’ berarti pengurangan kekerasan, dan penghindaran keekstreman. Dari pengertian tersebut, moderasi memiliki nilai-nilai yang hakikatnya universal, yakni jalan tengah. Dalam bahasa Arab, tengah = wasath.

Al-Qur`an dan Sunnah Mengajak kepada “Jalan Tengah”

{وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا [الإسراء: 29، 30]
{وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا [الفرقان: 67]
{وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ [القصص: 77]
{وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ (7) أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ (8) وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ [الرحمن: 7 – 9]
{لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ [الحديد: 25]
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ “إِنَّ هَذَا الدِّينَ يُسْرٌ وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غلبه
صحيح ابن حبان – محققا (2/ 63)

Jalan Moderasi di Indonesia

Muktamar NU di Jombang (2015) mengusung Islam Nusantara. Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar mengusung Islam Berkemajuan. Munas IX MUI di Surabaya, 2015, mengusung Islam al-Wasathiyyah.

Konsultasi Tingkat Tinggi (KTT) Wasathiyyah Islam di Istana Kepresidenan Bogor (2018). “Dengan poros wasathiyyah Islam, kami menunjukkan bahwa Islam adalah agama Rahmatan Lil Alamin” (Presiden Jokowi). Kementerian Agama, Tahun Moderasi Beragama untuk Kebersamaan Umat (Rakernas Kemenag RI, 2019), RPJMN tahun 2020-2024.

Disrupsi Dalam Beragama

Meningkatnya intoleransi akibat pengaruh internet (Survey nasional PPIM UIN Jakarta, 2017). Dunia maya sebagai sumber belajar agama. Media sosial sebagai sumber informasi dan bahan bacaan keagamaan. Informasi keagamaan diperoleh secara instan, serba cepat, tidak utuh dan bersifat indoktrinasi. Lebih mengedepankan emosi daripada rasa dan rasio/nalar.

Otoritas keagamaan dan keulamaan mulai bergeser. Dari sosok yang penuh kesalehan dan keilmuan kepada sosok yang bisa menguasai ruang publik. Kebenaran ditentukan oleh siapa yang berhasil menguasai ruang publik.

Menguatnya semangat keberagamaan yang tidak diimbangi dengan pengetahuan dan wawasan keislaman yang memadai melahirkan sikap ekstrem dan eksklusif. Radikalisme adalah pemikiran atau sikap yang ditandai oleh 4 (empat) hal yang sekaligus menjadi karakteristiknya yaitu
Pertama, sikap tidak toleran dan tidak menghargai pendapat dan keyakinan orang lain.
Kedua sikap fanatik, membenarkan diri sendiri, dan menyalahkan orang lain.
Ketiga, sikap eksklusif, tertutup dan berusaha berbeda dengan kebiasaan orang.
Keempat, sikap revolusioner, kecenderungan untuk menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuan.

Pluralisme Agama, yaitu suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama, dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif, oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah.

Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk, semua agama akan masuk surga dan hidup berdampingan di surga. Adapun pluralitas agama adalah sebuah kenyataan, bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan.

Oleh karena itu, bagi kaum agamawan, Pluralisme Agama (No) Pluralitas Agama (Yes). Liberalisme agama adalah memahami nash-nash agama (Al-Quran dan Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas, dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata.

Sekularisme agama adalah memisahkan urusan dunia dari agama. Agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial. Hal ini tidak sesuai dengan substansi dan tujuan kehadiran agama yang dibawa oleh Rasulullah. Setiap perbuatan manusia memiliki nila-nilai transendental.

PENDEKATAN TASAWUF

Menurut Imam Junaid Al-Baghdadi (w.910 H) tasawuf adalah mengambil setiap sifat mulia dan meninggalkan segala sifat rendah, atau keluar dari budi perangai yang tercela dan masuk kepada budi perangai yang terpuji.

Syekh Hasan Asy-Syadzili (w.1258 H) mendefinisikan tasawuf sebagai praktik dan latihan diri melalui cinta yang mendalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan.

Rabiyatul Adawiyah tokoh Mahabbah ketika ditanya, bencikah engkau kepada syaitan, beliau menjawab “tidak”, karena hatiku sudah terpenuhi dengan “cinta”, sehingga tidak ada lagi ruang untuk benci.

Menurut Amin Syukur tasawuf adalah sistem latihan dengan kesungguhan (riyadhah dan mujahadah) untuk membersihkan, mempertinggi, dan memperdalam aspek kerohanian dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ila Allah) sehingga segala perhatian hanya tertuju kepadaNya.

Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa basis tasawuf adalah penyucian hati dan pikiran, menjaganya dari setiap yang cidera/negatif. Karena hati merupakan dinamisator terhadap baik buruknya perbuatan seseorang. Rasulullah SAW bersabda:
عن النعمان بن بشير رضي الله عنهما قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: ألاإن في الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله، وإذا فسدت فسد الجسد كله، ألا وهي القلب؛ متفق عليه

“Dari Nu’man bin Basyir Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: Ketahuilah sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal daging, apabila dua baik, maka baik pula seluruh jasad, dan apabila dia jelek, maka jelek pula seluruh jasad. (Segumpal daging itu) adalah hati (qalbu)”. HR. Al-Bukhari dan Muslim.
Allah berfirman:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا (٩) وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا (١٠)

“Sungguh beruntung orang yang menyucikan (jiwa itu), dan sungguh rugi orang yang mengotorinya”.(QS. Asy-Syams: 9-10).

Ayat di atas dijadikan dasar keniscayaan bertasawuf, yakni upaya penyucian hati dan pikiran, dan menjaganya dari hal-hal negatif yang mengotori kesucian jiwa.

Perwujudan dan Implementasi Tasawuf

Melahirkan Akhlaqul-Karimah (Sikap-Sikap Terpuji).

  • عن !هريرة رضى الله عنه ـ قال: قال رسول الله ـ صلى الله عليه و سلم ـ: إنما بعثت لأتمم صالح الأخلاق (رواه أحمد 
    وقد بُعِث رسول الله صلى الله عليه وسلم ـ ليتمم مكارم الأخلاق لأهميتها للفرد والأسرة، والمجتمع والأمة .

Sesungguhnya Rasulullah Muhammad SAW diutus untuk menyempunakan akhlaq yang mulia untuk kepentingan pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa. Syekh Sauqy Beq pujangga Mesir mengatakan bahwa suatu bangsa akan tetap jaya semala akhlaq bangsa itu baik, akan tetapi mereka akan hancur apabila akhlaq mereka rusak.

إنما الأمم الأخلاق ما بقيت    فإن هم ذهبت أخلاقهم ذهبوا

Melahirkan Faham Egaliter (Egalitarianisme)

Tasawuf melahirkan sikap egaliter, karena Islam mengajarkan bahwa kedudukan manusia sama di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Paham ini dikenal dengan paham egaliterisme.

Allah tidak membedakan manusia berdasarkan etnis, budaya, bahasa, dan warna kulit, tetapi yang membedakan kedudukan manusia di hadapan Allah adalah nilai ketaqwaannya, sebagaimana firman Allah di dalam surat Al-Hujurat/49 ayat 13:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (١٣)

Artinya; Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Melalui paham egaliterisme ini Islam paling sukses dalam menghapus perbudakan. Sebagaimana kita maklum sebelum Islam datang, perbudakan sudah berakar tunggang dalam kehidupan masyarakat, tidak hanya di jazirah Arab, tetapi juga di berbagai belahan dunia. Hal ini diakui oleh semua pakar sejarah.

Pada setiap penemuan bekas-bekas kota kuno selalu ditemukan Colloseum yang dijadikan tempat mengadu budak. Sudah bukan menjadi rahasia umum, mengadu budak menjadi kesenangan para pembesar negeri di berbagai belahan dunia.

Ajaran Islam mengenai persamaan kedudukan manusia membuat para pemilik budak di kalangan sahabat Nabi bersikap santun terhadap budak-budak mereka, bahkan mengajak makan bersama, dan menganggap mereka para budak sebagai saudara, lalu membebaskan mereka sebagai bentuk pengamalan ajaran agama.

Dan dari pihak budak bangkit kesadarannya untuk hidup secara merdeka. Hal ini didorong oleh ajaran tauhid, Laa ilaaha Illa Allah ( لا اله الا الله ). Tidak ada Tuhan yang berhak disembah dan diibadati selain Allah.

Pengabdian kepada manusia tidak boleh melebihi pengabdian kepada Allah.
Kalimat Tauhid ( لا اله الا الله ) manakala tertanam dalam diri seseorang akan membuahkan amal yang shaleh setiap saat. Allah berfirman:

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ (٢٤) تُؤْتِي
أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (٢٥)

Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat”. (QS. Ibrahim: 24-25).

Termasuk dalam kalimat yang baik (Kalimatan-Thayyibah) ialah kalimat tauhid, segala ucapan yang menyeru kepada kebajikan dan mencegah dari kemungkaran serta perbuatan yang baik. kalimat tauhid seperti laa ilaa ha illallaah.

Menarik untuk diperhatikan pesan Abuya Syekh H. Amran Waly Al-Khalidi buku Ajaran Tasawuf Kesufian Jilid I halaman 129-130 sebagai berikut: “jangan hanya mengamalkan syariat saja sehingga membuat jidal/perbantahan dan pertikaian, penyebab putus silaturrahmi sesama umat Islam dan lainnya”.

Dalam buku yang sama halaman 106 beliau katakan: “Adapun ajaran hakikat yang didasarkan kepada syuhud setelah tajalli keberadaan Allah dalam bathinnya untuk mendapatkan kasih sayang dan ma’rifat, yaitu dhahir Allah dalam pandangannya setelah hilang rasam wujudnya di hadapan Allah oleh cahaya keberadaan Allah dalam bathinnya.

Maka dia hidup bersama Allah, tidak bersama nafsunya, kepedulian Allah terhadapnya melebihi dari lainnya, sebab dia telah dapat melunaskan hak-hak Rububiyah Allah, maka Allah melunaskan hak-haknya dengan memperbaiki urusannya dalam kehidupan.

 

Bagikan ke: